Sepotong Episode Perjalanan Malang-Sangiran

Bismillahirrahmaanirrahiim 
Perjalanan dua hari yang lalu berkesan, ingin rasanya menuliskan butir-butirnya yang insya Allah bermanfaat. Jum'at sore, usai kuliah konstruksi bendungan, memutuskan untuk kembali melakukan perjalanan malam. Meninggalkan dua agenda untuk melepas rindu kepada keluarga. Hal yang berbeda adalah keputusan untuk pulang setelah magrib namun tidak melewati jalur Surabaya, resikonya adalah kemungkinan tidak adanya bus di terminal Landungsari.

Seperti pertimbangan lainnya, bagi yang suka memanfaatkan waktu-waktu luang dan waktu produktif, perjalanan malam memberikan ruang untuk istirahat dengan tidak memakan waktu aktivitas siang. Persiapan harus ekstra dalam hal keamanan. Jika mengambil perjalanan siang maka aktivitas siang mungkin akan terkurangi. Sebelum meninggalkan kos sempat mengabadikan langit sore bersama panorama Panderman dari balkon rumah kos.

Dengan angkot bertuliskan GL, aku melaju ke terminal Landungsari. Alternatif selanjutnya adalah via terminal Arjosari jurusan Surabaya. Sesampainya di Landungsari, bus jurusan Jombang tidak ada dan setelah aku tanya ke pos, adanya jam setengah 9 malam. Alhasil dengan keputusan sepihak aku naik bus Puspa Indah jurusan Kediri dengan jadwal keberangkatan kira-kira jam sebelum jam 7 malam. Ini pertama kalinya pulang ke Ngawi dari Malang melewati Kediri. Pernah dulu setelah ada agenda pramuka dari Blitar lewat Kediri namun berbeda bus.

Masuk ke bus dengan keyakinan di Kediri akan ada bus ke arah Surabaya atau Nganjuk, hingga menanti hingga bus berangkat. Rasa capai menghampiri setelah seharian beraktivitas tapi mata enggan terpejam. Akhirnya karena duduk di dekat pintu bus, diajak berbincang oleh kondektur membicarakan bus yang dibakar di Perak, Jombang. Setelah hampir tiga jam diperjalanan panorama Kota Kediri menyambut, meski sepi. Di Terminal Kediri sangat sepi dan setelah bertanya ternyata alternatifnya adalah bus Harapan Jaya arah Surabaya turun di Beraan, Kertosono, sebab bus jurusan Nganjuk hanya ada jam 2 pagi esok harinya. Posisi menunjukkan pukul setengah 11 malam. Dan posisiku saat itu kulihat di GPS, alhamdulillah kondisi baterai masih mencukupi. Karena takut akhirnya GPS terus aku nyalakan.

Alhamdulillah ada seorang Bapak dari UIN Malang juga akan menuju Nganjuk jadi ada rekan menunggu. Ayah dan Ibu menelpon menyarankan untuk mencari penginapan, takutnya tidak ada bus lagi. Namun hati tetap yakin akan ada pertolongan Allah. Alhamdulillah sesaat kemudian ada bus Harapan Jaya dari Trenggalek. Di Terminal ini ada pelajaran untuk terus berhati-hati, dan memposisikan diri sekalipun bingung jangan menampakkan resah atau kebingungan, karena kondisi malam hari seperti malam kemarin sangat rawan, apalagi untuk seorang perempuan yang bepergian sendiri. Tetap jaga diri dan jaga prinsip. Pastinya memohon petunjuk kepada Allah dan memohon pertolongan kepadanya.

Bus Harapan Jaya melaju menuju Beraan Kertosono, tidak berapa lama akhirnya sampailah di Beraan, Kertosono. Di Bus Harapan Jaya ini sambil mengambil pelajaran saling memberi ruang kepada yang lebih tua ditengah keegoisan. Di Beraan, jarang sekali bus arah Solo atau Jogjakarta yang lewat. Alhamdulillah ada sapa dan komunikasi dengan grup FIM dan ODOJ yang saling memberi semangat  dan menjaga meski akan mencapai tengah malam. Bapak UIN tadi berbaik hati menawarkan air minum meskipun sebenarnya aku membawa sendiri.
Suasana sedikit redup disana, ada rasa mengganjal. Bus Restu tampak tidak diminati para penumpang yang bergerombolan, namun Bapak dari UIN tadi berpamitan ingin menaiki bus Restu tersebut. Belakangnya ada Bus Sumber Selamat dan langsung menjadi idola pada tengah malam itu. Nah, posisi inilah yang membuatku tersadar ada hal yang aneh saat mengantri naik ke bus. Tasku terasa sedikit berat. Aku berhenti sejenak dan orang dibelakangku sedikit salah tingkah kemudian dia memakai earphonenya dengan jaket terselempang ditangannya, setelah kupersilahkan naik ternyata orang itu tidak jadi naik. Ada yang aneh, kutengok tasku dan kudapati terbuka,padahal sebelumnya tertutup dan aku hapal sekali bagaimana aku menempatkan resleting tasku.

Ya, kalau boleh berargumen bisa jadi ada kejadian bermodus beberapa menit sebelum aku naik bus Sumber Selamat. Untungnya tas depan yang terbuka itu hanya berisi beberapa bacaan, alat tulis, schedule book, cutter, lem, dan beberapa uang kecil. Alhamdulillah sepertinya masih utuh dan alhamdulillah handphone yang biasanya aku taruh di tas pada saat itu tidak ada dalam tas. Harus ekstra hati-hati lagi perjalanan selanjutnya, banyak kesempatan dalam kesempitan.
Pada saat di bus, kendaraan melaju lumayan kencang. Namun masih dalam standar, menurutku. Meskipun berdiri, bagiku ini hal biasa. Satu jam, dua jam atau bahkan lebih dari tiga jam, itu adalah resiko mengambil jalan bus ekonomi yang notabene lebih murah dari bus eksekutif. Bagiku, ada esensi tersendiri ketika kita berani memilih yang berlabel ekonomi. Bukan karena tarifnya yang lebih murah tapi sebenarnya banyak sekali pelajaran yang dapat diambil ketika berada di dalam kendaraan yang berlabel ekonomi.

Ada pesan-pesan tersirat yang mungkin tidak mampu dirasakan bagi orang lain, dan setiap orang jika menelaah lebih lanjut akan berimbas pada muhasabah sikap diri masing-masing. Pada saat kurang lebih daerah Baron, Nganjuk, ada dua wanita (masih mahasiswi sepertinya) dengan jurusan Jogjakarta naik. Dilihat dari penampilan seperti menengah ke atas. Ketika naik dia kaget karena banyak yang berdiri dan tidak ada tempat duduk.

Sedikit protes kepada kondektur pastinya dan meminta turun ketika ada penginapan. Hampir semua penumpang memperhatikan mereka tanpa mengurangi rasa hormat. Sang kondektur yang bijaksana memberi pengertian memang seperti ini kondisinya.
 
"Tapi saya turun Jogja Pak, masak saya berdiri, ya capek!" ungkap wanita itu.
"Nanti insya Allah di Madiun ada yang turun Mbak, ga sampai 2 jam biasanya" Bapak kondektur dengan nada yang sangat halus.
"2 jam itu lama Pak, nanti kalau ada penginapan turunin aja Pak" dengan wajah sedikit kecewa.
"Masak ga ada tempat untuk duduk to Pak?" tanya wanita satunya.
"Mbak, Mas yang dibelakang itu (sambil menunjuk) itu juga tujuannya Jogja, sama berdirinya" jelas Bapak kondektur.

Dua wanita itu terdiam. Sang Kondektur mencari-cari celah tempat duduk didekat sopir, bernegosiasi sejenak dengan Bapak-bapak yang sedang duduk dan meminta untuk bergeser sedikit. Akhirnya ada celah untuk duduk untuk 2 wanita yang masih muda itu.

Aku memperhatikan mereka karena memang posisi berdiriku berada didepan. Aku sempat tercengang melihat salah satu wanita itu menangis, satunya lagi menunduk. Wanita itu duduk disamping laki-laki, penjaga pintu depan, rekan kondektur. Laki-laki paruh baya itu berbicara pada dua wanita itu, sempat terdengar oleh penumpang lain.

"Ya, ini Mbak kondisinya, dari Surabaya memang kami sudah penuh, bus jarang Mbak, hari libur panjang, saling memaklumi satu sama lain, kalau tidak mau Mbak bisa memilih bus eksekutif" ucap laki-laki sembari menunduk dan memberi arahan jalan samping kepada sopir. Kondektur satunya seperti kelelahan hingga terlelap sejenak dalam duduknya.
"Saya baru pertama naik bus, Mas. Saya kira ga seperti ini" ucap wanita itu sambil menitikan air mata.
"Ya buat pelajaran Mbak, disini semua juga butuh, ada yang dari Surabaya sudah berdiri, ya saling menghargai Mbak, semua juga capek Mbak......." banyak penuturan yang disampaikan Mas tersebut.

Aku tersenyum simpul memetik hikmah perjalanan di bus malam ini. Banyak hal yang dapat dijadikan koreksi diri, sudahkan sabar, sudahkah ikhlas, tidak memaki orang lain, belajar bijaksana dari kondektur tadi, saling memahami dan nilai-nilai lain yang menjadikan pribadi ini insya Allah lebih baik.
*
Terlepas dari itu perjalanan malam hingga dini hari ini setidaknya tidak kosong. Ada hal yang bisa disisihkan untuk diceritakan. Sampailah di Pasar Caruban dan Ayah yang sudah menjemput. Hingga akhirnya mendekati sampai di petigaan Bangon, Karangjati, pintu masuk awal ke Waduk Sangiran. 3 km terlampaui dan sampailah pada daerah gelap dimana depan sawah, kanan kiri lahan ditumbuhi jati dan tanaman kering, belakang tumbuhan jati dan sungai,  berada dibawah cahaya bulan yang tinggal setengah tapi terang. Alhamdulillah sampai di rumah.

Dirumah hanya sampai minggu, dan minggu harus segera kembali ke Malang. Ada waktu kurang dari 48 jam untuk merasakan atmosfer keluarga yang merindukan. Minggu kemarin, saat bertolak dari Ngawi jam setengah 3 sore, ada pelajaran lagi yang kudapat di bus dengan warna yang berbeda. Insya Allah akan ada cerita di posting selanjutnya. Semoga cerita singkat hikmah perjalanan ini bermanfaat. 


***Informasi tambahan

Berdasarkan pengalaman kemarin biaya yang dibutuhkan masing-masing alternatif ketika perjalanan kemarin:
Alternatif I Sumbersari- Terminal Landungsari- Randu(Jombang)- Caruban- Karangjati (5,5-6,5 jam tergantung kemacetan)

Sumbersari-Terminal Landungsari Rp3.000,00
Terminal Landungsari-Jombang Rp18.000,00
Jombang-Caruban Rp10.000,00 (non Kartu Langganan)
Caruban-Karangjati Rp5.000,00

Alternatif II Sumbersari- Terminal Arjosari- Surabaya- Caruban- Karangjati (6,5-7,5 jam tergantung kemacetan)
Sumbersari-Terminal Arjosari Rp3.000,00
Terminal Arjosari-Surabaya Rp13.000,00
Surabaya-Caruban Rp20.000,00 (non Kartu Langganan)
Caruban-Karangjati Rp5.000,00


Alternatif III Sumbersari- Terminal Landungsari- Terminal Kediri-Beraan(Kertosono)- Caruban- Karangjati (6-7 jam tergantung kemacetan)

Sumbersari-Terminal Landungsari Rp3.000,00
Terminal Landungsari-Terminal Kediri Rp21.000,00
Terminal Kediri-Beraan(Kertosono) Rp5.000,0
Beraan-Caruban Rp7.000,00 (non Kartu Langganan)
Caruban-Karangjati Rp5.000,00

Gazebo Majapahit FT-UB, 30 Desember 2013
Vita Ayu Kusuma Dewi

Comments