Kawah Ratu TNGHS : Keresahan yang Hilang

Bismillahirrahmaanirrahiiim 
Semangat pagi.. sudah baca cerita sebelumnya? Biar ceritanya nyambung, baca dulu disini ya buat prolognya Kawah Ratu TNGHS : Ketika Allah Mengijinkan ^^ 

Kekuatan saling percaya.... 
Semakin lama, jalan yang kami lalui semakin menanjak. Bagi motor bebek atau manual bisa diatur dengan gigi, namun bagi motor matic seperti si merah, harus memakai awalan agar tidak berhenti ditengah jalan. Sesuai pengalaman kemarin sangat tidak disarankan motor melaju sangat dekat dengan kendaraan roda empat didepannya, takut tiba-tiba berhenti. Saat-saat seperti ini kekuatan saling percaya sangat dibutuhkan. Pengemudi percaya pada kendaraannya agar bisa nanjak sampai tujuan. 


 
 Gerbang Taman Nasional Halimun Salak 

Welcome to TNGHS.... 
Aku tidak melihat jam tangan ketika kami sampai di gerbang TNGHS, yang pasti masih sekitar setengah 7an. Kemudian kamipun membayar retribusi. 1 motor 2 orang dikenakan biaya Rp25.000,- jadi kami berempat harus membayar Rp50.000,-. Usai membayar, kamipun terus melaju menuju basecamp Pasir Reungit. Setelah melalui camping ground gunung Bunder, kami disambut deretan pinus dan sejuknya udara pagi serta sorotan matahari yang sesekali menyelinap diantara pepohonan. Masih dingin-dingin empuk, hihi...Sepanjang perjalanan dikanan ataupun kiri ada beberapa pintu masuk curug atau air terjun. Tapi mata kami tak begitu saja tergoda karena destinasi yang kami tuju bukanlah curug saja. Kami terus melaju hingga sampai dijajaran warung yang ada tulisan jalur pendakian Kawah Ratu.

 
Jalur menuju basecamp

Melihat kondisi si merah yang sudah lelah menapaki jalanan TNGHS, kamipun memutuskan untuk parkir diwarung bawah basecamp dan melanjutkannya dengan jalan kaki. Jalan kaki sekitar 10 menit sembari menikmati perjalanan dan kamipun sampai pada deretan tenda-tenda yang masih tegak nan ramai. Tak lupa, pengagum matahari seperti Mbak Atik selalu terpesona dengan rayuan matahari sehingga tak lupa mengabadikannya. 


Hangatnya sambutan matahari 

Sesampainya di pos basecamp Pasir Reungit, akupun mengurus ijin atau Simaksi. Jatah waktu yang diberikan kepada kami sekitar 5 jam, 4 jam untuk perjalanan pulang pergi dan 1 jam untuk berada di kawasan Kawah Ratu. Sebab jika lama terpapar belerang dikawah akan sangat berbahaya bagi kesehatan. Usai menandatangani Simaksi dan menyerahkan KTP, kamipun sejenak makan pagi. Insiden yang terjadi dimakan pagi adalah lauk telur Mas Muhdin jatuh.hehe....Oh iya, di pos ini pengunjung membayar Rp10.000,-/orang dan biaya materai Simaksi. 

Ujian Karakter di Mulai... 
Sekitar pukul 07.40 WIB kamipun memulai melangkah dari pos basecamp. Tatanan batu yang tergolong rapi memudahkan langkah kami. Jalur yang akan dilalui termasuk mudah untuk diikuti karena sudah ada petunjuk dan patok HM yang bisa dijadikan acuan. Sambutan sungai pertama dipertigaan Curug Buluh dan Kawah Ratu membuat Mbak Riani sang pengagum air terpana ingin segera menyentuhnya. Jalur jembatanpun tak berlaku bagi dia. Tak berlama-lama, kamipun segera melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan tak hentinya bercengkrama, tak pula lupa untuk mengeluarkan kamera. 

Sebaik-baik kamera adalah mata... 
Perjalanan ke Kawah Ratu adalah perjalanan yang memanjakan mata maupun rasa. Jika mengikuti hasrat untuk terus mengabadikannya dengan kamera, kita akan sampai di Kawah Ratu dengan waktu yang lama. Untuk itu kami hanya mengeluarkan kamera sesekali saja. Selebihnya biar mata yang bertugas merekamnya. Pun kita juga tahu bahwa tak semua momen tak harus diabadikan, terkadang kita hanya ingin mengenangnya sendiri tanpa sengetahuan teman seperjalanan. 


 Potret sebelum lelah 
Kesegaran langkah tercipta karena adanya aliran air sepanjang jalur. Bahkan pada spot tertentu harus rela bercumbu dengan air karena tak ada jalur kering. Undakan batu juga ikut mewarnai jalur yang kami lewati. Pun ranting dan pohon yang melintang jalan menguji kami untuk melewatinya. Perjalanan yang indah yang semoga penuh berkah. 

Pilihlah sesuai keyakinan dalam hati... 
Disuatu pertigaan, kami dibimbangkan dengan pilihan jalur. Sempat bingung namun ingatanku menunjukkan jalur kiri adalah yang pernah kulalui. Meski becek akhirnya kamipun melaluinya. Sesekali sepatu mbak Atik slip karena licin. Namun hingga detik itu belum ada keluhan keluar dari mereka. Pun my lovely backbone berkata masih kuat menuju tujuan. 

Hal yang unik adalah sepanjang perjalanan ini banyak sekali quote terlontar dari Mbak Atik dan Mbak Riani, Mas Muhdin banyak diamnya.hihi..maafkan srikandi srikandi heboh ini Mas... Tiba-tiba gunung Salak membuat kami seperti penyair yang tiba-tiba bersajak bijak. 

Teruslah mendaki tanpa henti...

Kira-kira di seperempat perjalanan, sandal Mbak Riani salah satu talinya lepas dari solnya, namun sandal tersebut pada akhirnya masih bertahan hingga pulang kembali. Kau tahu bagaimana sandal mengajarkanmu untuk selalu kuat dan semangat dengan kondisi ada yang bagian tersayat? Begitupula yang harus kita lakukan, tetap semangat dan kuat apapun kondisi yang kita hadapi. Sandal adalah korban kedua Mbak Riani saat nge-trip, trip yang pertama sepatu. Tak apa, asal tak korban perasaan.hihi..peace Mbak Ri..

Godaan bagi Mbak Riani...Air..

Pendakian, ajang berbagi namun bukan hati... 
Sering berhenti foto membuat kami tersusul oleh rombongan lain, ketika berpapasan itulah menjadi ajang bertegur senyum sapa. Mbak Atik bilang kalau pendaki itu ramah-ramah. Iya begitulah, selama ini juga merasakan hal yang sama walaupun ada yang memang cuek tak peduli. *uhuk..pengalaman*. Ingat sebuah kalimat, “bawalah sesuatu yang kau butuhkan dalam perjalanan kecuali hatimu, tinggalkan ia di rumah, niscaya kau selamat sampai tujuan”. Sesekali dalam perjalanan, kami bercanda nanti kalau mau ospek pasangan bisa dengan sebuah perjalanan, kalau mau tes kesabaran bisa diajak ke pasar.hihi..maafkeun..Dari dasar hati ingin nantinya yang mendampingi bisa diajak bercanda di alam bersama, minimal kalau bosan tidur di rumah, mau diajak mendirikan tenda dihalaman.hehe..duh maaf curcol. 

 
 Eciee yang berdua didepan...
Alam Mendekatkanku dengan-Mu.... 
Sekitar dua jam berjalan, kamipun sampai di kawah mati dengan bau belerang yang sudah mulai terasa. Masih dengan mengabadikan foto, serta kudapati rona bahagia masih terpancar sempurna di wajah Mbak Atik dan Mbak Riani. Mas Muhdin masih menikmati menangkap alam melalui lensa.

Alhamdulillah Kawah Mati...

Taukah kalian, ada kebahagiaan yang sulit terungkapkan ketika berada di alam. Alam menjadi candu yang terus mengingatkanku bahwa aku bukanlah siapa-siapa. Bahwa hidupku bukan untukku sendiri, bahwa aku tak akan pernah sendiri, bahwa masih ada orang-orang yang digerakkan hatinya oleh Allah untuk peduli. 

Melihat kabut dan awan mulai menghitam, kami bergegas menuju Kawah Ratu terlebih dahulu. Jalur yang kami lewati adalah jalur terjal, bukan jalur landai yang dulu kulalui. Aku juga masih ingat akan tanda persahabatan yang ku temui saat berada di Kawah Mati, semacam in memoriam untuk sahabatnya di aliran belerang. Kami beristirahat sejenak kembali di area danau dengan pemandangan khas pohon-pohon kering menghitam. Sungguh, perjalanan di lereng gunung salak ini sangat berwarna, apapun ada, dan setiap sudutnya menghadirkan cerita.

 
Keramahan alam yang mendamaikan...

Mas Muhdin dan Mbak Riani masih berpotret ria, Mbak Atik masih asyik dengan layar HPnya, dan pendaki lain yang hilir mudik bergantian ada yang datang dan pulang. Aliran air yang kami lewati sudah menunjukkan kehangatannya menandakan Kawah Ratu didepan mata. 


3 Srikandi mencari jati diri...

Benar saja, tak sampai seratus langkah kamipun sampai di Kawah Ratu. Indah ya Allah, sangat indah. Kunjungan kedua dan aku masih merasakan dekapan kawah ratu yang mendampaikan. Memandang arah puncak salak yang tertutup kabut masih menyisakan keinginan untuk pergi kesana. Kami menikmati Kawah Ratu dengan cara masing-masing, hingga kami berempat duduk bersama menikmati suasana disebuah batu besar.


 Hangatnya mulai terasa..

Atas ijin-Nya, aku memperjuangkanmu dan mengalahkan ketakutanku...  
Mas Muhdin menunjuk pada satu arah ke-so sweet-an pasangan yang menyusun batu bertuliskan inisial nama, lengkap dengan waru-nya. Hihi.. dilarang baper. Merujuk kembali saat berangkat, kami takut kami tidak kuat, kami takut banyak merepotkan dan banyak sekali keresahan dan ketakutan yang tercipta. Namun ternyata, atas ijin dan kekuatan dari-Nya, semua tak terjadi, yang ada adalah saling menguatkan satu sama lain hingga tak ada yang tertinggal ketika kami sampai ditujuan yang direncanakan. Terkadang memang manusia dihantui ketakutan hingga ia tak mau melangkah, padahal kita memiliki Allah yang jika kita meminta kekuatan pasti akan diberikan. 


Alhamdulillah sampai tujuan..
Setelah merasakan paparan belerang mulai mengganggu, kamipun bergegas naik kembali dan beranjak pulang. Saat kami menuju danau, ada pendaki lain yang mengingatkan bahwa jalur sudah tidak dapat dilalui. Wah, maafkan aku, ketika aku kesana masih bisa dilalui karena ilalang belum meninggi seperti sekarang. Pada perjalanan pulang ini Mbak Riani menanyakan etika mendaki kepada Mas Muhdin. Yupz, akhirnya sharing menjadi teman perjalanan kami kembali. Baru saja sampai di area Kawah Mati, hujan sudah mulai menyapa. Kami menyatukan eletronik di kantong plastik dan terus melaju. Daun-daun yang saling berpelukan melindungi kami dari air hujan. 

Saat lelah menghampiri, mintalah kekuatan kepada-Nya... 
Jika diawal perjalanan diawali dengan haha-hihi, pulangnya seperti puasa tanpa kata. Kami terus berusaha mengembalikan semangat ketika kami berangkat, sepertinya ada lelah yang mulai menghampiri sehingga kami banyak berdiam diri. Namun setelah berpapasan dengan dedek dedek emesh, kamipun seperti battle menyanyi. Bak playlist yang terus berputar sepanjang perjalanan.hehe... Muka air aliran pada jalur yang kami lalui sedikit lebih tinggi akibat adanya hujan. Kami ingat pada jalur yang kami pilih dipertigaan diawal, yang awalnya di cela pada akhirnya dirindukan. Bagaimana tidak, ternyata jalur yang kami hindari berupa tangga tanah yang setelah hujan terasa licin. Namun selalu ada keindahan yang Allah berikan berupa pemandangan. 

 Bebatuan, teman perjuangan

Kau meminta, akan Allah kabulkan... 
Saat berada pada deretan tangga, Mbak Riani tak sengaja melontarkan tanya "adakah yang jatuh atau terpeleset dijalur ini". Selang hanya beberapa detik, Mbak Atik hilang keseimbangan dan terpeleset. Kami justru tertawa bersama dan menyadari bahwa setiap apa yang kita ucapkan, Allah selalu mendengarkan dan bisa saja saat itu juga direalisasikan. Jalur TNGHS ini penuh dengan muhasabah diri... Pun ketika melewati jalur berangkat maupun pulang, carilah yang memang pantas menjadi pegangan, yang tidak menghindar ketika engkau butuh bersandar. Semua itu hanya Allah, yang layak menjadi sandaran pengharapan. 

Kami terus berjalan mengikuti alur diselingi dengan saling berbagi inspirasi. Mbak Atik mengatakan alam mengajarkan pada kesederhanaan. Agar kita tak berlebihan bertingkah, berucap dan pastinya berharap selain kepada-Nya. Tak terasa jalur sudah dekat dengan basecamp dan kamipun memutuskan untuk mampir ke curug Buluh. 

Tak terasa ya, panjang sekali curcolan ini.hihi..in syaa Allah tentang curug Buluh akan diposting setelah post ini. Semoga sahabat semua selalu dalam limpahan rahmat Allah dan bisa mengambil hikmah dari perjalanan ini. 


 *** 
Wisma Wageningen –Puri Fikriyyah, 21-22 November 2016 
Vita Ayu Kusuma Dewi

Comments