Catatan Kecil untuk Keluarga 19

Bismillahirrahmaanirrahiim 

Merundung sepi tidak seperti biasanya. Cahaya temaram membelokkan bias sinar yang mulanya jernih bertransisi redup perlahan. Kawan, dimanakah kalian? Saat canda tawa kita lalui bersama, meski kadang rasa jengkel hinggap karena ketidaklengkapan kita melingkar dalam satu formasi. Sadarkah jika sebenarnya dalam rasa kesal itu ada rindu akan berkumpulnya kita kembali menyatukan hati, menyatukan visi dan berusaha memahami meski arah berlawanan selalu menghalang. 

Dimana kepalan semangat yang selalu terkobar ketika kita bertegur sapa, kawan? Tahukah aku rindu saat telapak tangan kita saling berdekatan dan kita satukan kekuatan. Saat satu pioneer meneriakkan slogan kebanggaan kekeluargaan? Dimana keikhlasan yang kita ikrarkan saat diawal kita bersama meletakkan amanah ini dipundak masing-masing? Dimana keyakinan bahwa kita tidak sendiri berjuang demi titisan yang menjadi awal kita disatukan?

Saat ini hanya satu, dua bahkan tiga yang menyatu disudut ruang meratapi apa yang akan terjadi selanjutnya tanpa kehadiran kalian, disini kami menunggu. Menunggu saat wajah-wajah berseri itu datang, menepukkan amunisi kebangkitan dan kembali kepada niat yang satu. Kawan, sayap-sayap ini tersusun bukan hanya dari satu unsur, bukan aku yang kuat, bukan kamu yang hebat, bukan pula kamu yang memiliki ide cermat, bukan juga kamu yang pandai merangkul massa erat, kita satu kekuatan yang tidak akan terpisahkan. Kita satu tubuh yang saling berkoordinasi, ketika hilang salah satu, kau pasti tahu bagaimana sakitnya raga ini berjuang dengan kecacatan. Atau jika memilih untuk mengakhiri, berarti kita mati, namun bukan sebuah akhir untuk satu napas yang telah kita pilih.

 Bukankah kita berada disini tanpa paksaan? Bukankah ini kesanggupan dari diri untuk mengabdi? Dimana? Dimana rasa itu, kawan? Omong kosong, jika dengan tempaan kecil ini semua saling berjauhan dan hanya memandang, lihatlah kawan, masih ada harapan senyum yang terlontar, tapi mengapa kau hiraukan. Hei….itu saudaramu. Dia seperjuanganmu, dia yang membantumu terbangun ketika kau jatuh, dia yang berusaha menghadirkan senyum untukmu, meski dalam hatinya hancur dengan masalahnya. Kawan, benarkah ini usia kita? Hanya sebatas inikah akar kita? Akar yang kita tanam sendiri, akar yang kita harapkan akan tumbuh menjadi tunas-tunas harapan. Dia yang akan terus berkembang memberikan arti, memberi keteduhan, memberikan kemanfaatan, apakah hanya sebatas ini, bahkan saat tunasnya pun belum muncul? Jika memang iya, tentunya kita menyesal telah memaksakan hati ini memilih jalan yang hanya akan kita kotori dengan ego yang mendewa. Apakah ini yang akan kita wariskan kepada generasi dibawah kita, kawan? Apakah akan kita campakkan begitu saja pilihan kita, kawan? Tidakkah malu dengan tindakan konyol ini, kawan? Tengok kembali hatimu, biarkan ia berbicara, dan tak perlu terlalu lama tertidur, ayo kita kembali membuka mata. Jika memang hari yang lalu menyayat hati dan tidak ingin kau ulang atau kau ingat lagi, ayo kita lupakan. Kita rajut kembali visi misi yang sempat terbuang, kita satukan kembali ruh-ruh yang terpisah, demi satu nama dijalan yang insya Allah mendapat ridho-Nya. 

Malang, 16 November 2013
00:03 AM
Vita Ayu Kusuma Dewi

Comments