Bismillahirrahmaanirrahiim
Cukup,
ini awalan yang indah untuk memulai menulis dengan teknologi. Satu hari penuh
berada di pesawat dan mengisi waktu dengan menulis di buku akan ku akhiri
sejenak. Mulai saat ini jejak mimpi akan
berpindah dengan teknologi.
Hari
ini aku kembali jatuh cinta. Sejak ku injakkan kaki pertama di tanah ini. Fukuoka, dingin yang menyambut seraya
menghangatkan atas senyum-senyum yang terlempar menuai keramahan. Syukur
Alhamdulillah perjalanan panjang mulai dini hari tadi akan segera berakhir.
Surabaya, Hong Kong, Taipei menjadi perantara untuk sampai ke pulau Kyushu ini,
pulau paling selatan Negara Jepang.
Tadi,
saat masih terdampar diatas samudera awan Laut Cina Timur, pulau ini sangat
indah dengan gemerlap lampu yang tidak mewah, sederhana dan membentuk lukisan
alam membiaskan cahaya-cahaya ke air. Indah, sungguh indah. Sekali lagi atas
ijin Allah, aku dapat memandang ujung kecil dunia ini dari sisi lain.
Pukul
sembilan kiranya pesawat ini landing
lembut. Suasana lengang usai semua penumpang turun. Perjalanan dari Taipei –
Fukuoka ini lumayan sepi, karena penumpang banyak yang turun di Taipei. Makan
malam tadi juga beda, pasta, ya ini pasta asli bukan seperti pasta di
Indonesia.
Bandara
Fukuoka ini sudah kelas internasional. Pertama kali memandang, bersih dan ramah
kurasa. Menuju imigrasi dengan bantuan petugas Jepang dengan gaya khasnya.
Wawancara singkat namun berkesan, petugas yang masih muda itu ramah, menghormati
dan selektif. Aku masih ingat pertama kalimat yang dia ucapkan, “you have this card? And your passport
please, are you speak english?” Wawancara singkat 7 menit berakhir
digabungkannya passport dan visa serta ijin memasuki Jepang.
Usai
dari itu aku dan Kak Fauzi, rekan ICAST 2013 dari UNDIP mengambil bagasi.
Kemudian sejenak menengok toilet di Bandara ini. Bersih, tanpa penjagaan. Saat
aku membenarkan kerudungku, beberapa kali petugas masuk, aku kurang tau apa
maksudnya. Aku pun bergegas masuk. Karena masih menunggu Kak Fauzi, aku duduk.
Tak berapa lama dari itu ada petugas menghampiriku.
“I’m
sorry, can you go to there?” tanyanya
“Yes,
but I’m sorry I’m waiting my friend” jawabnya
“Oh…
you can wait him in Loby” tuturnya
“I’m
sorry, how about that?” sambil kutunjukkan 2 passport yang kubawa.
“It’s
no problem, prefer you go to there” pungkasnya
Kutarik
koperku dan melapor pada petugas berjaga. Kak Fauzi datang, kamipun mengobrol
dengan petugas masing-masing. Bahasanya
campur, inggris dan Jepang. Saat itu Bandara sangat sepi, hanya aku, Kak Fauzi
dan beberapa petugas. Ternyata setelah mencari informasi memang penjagaan
disini sangat ketat, tidak ada lalu lalang didalam Bandara selain arrival dan pengecekan. Ruang tunggu
berada disisi depan pintu masuk. Berbeda ruangan ceritanya. Pun ternyata
petugas yang keluar masuk toilet karena aku terlalu lama di toilet itu adalah
sebuah kode. Bisa saja aku diusir karena berlama-lama di toilet. Wah.. ternyata
masyarakat sini sadar diri dengan aturan yang ada.
Saat berada di lobi, Kak Fauzi bertanya pada
petugas tentang transportasi ke Kumamoto. Namun katanya bus sudah tidak ada.
Akhirnya,kami duduk kembali di Loby. Tak berapa lama dari itu, ada petugas
kembali. Memang disini kita tidak bisa seperti di Indonesia yang bisa bebas
tidur ditempat umum. Semuanya harus jelas, kalau tidak seperti itu pendatang
harus mencari penginapan.
Petugas
itu juga menjelaskan dan menyarankan kami naik taksi dengan biaya lebih dari
2000 yen pastinya atau diatas 250.000 rupiah. Padahal kami berusaha untuk
menghemat pada malam itu karena memang uang yang kubawa juga sudah
kuperhitungkan sebelumnya. Ingin naik Shinkansen (Kereta Jepang) saja ditunda karena harganya 4000 yen.
Aku
dan Kak Fauzi keluar pintu Bandara, dan tebak apa yang terjadi? Kedinginan.
Suhu 7 derajat kembali menyapa kami. Didekat papan presentasi ada seorang
wanita berdiri, mungkin sedang menunggu bus juga. Kamipun menghampiri dan
bertanya. Teryata, syukur walhamdulillah kami searah, bedanya wanita tersebut
tinggal di tempat yang berbeda, Kumamoto Inn, didekat Torichotsuji.
Kak
Fauzi kemudian menanyakan makanan favorit di Kumamoto saat musim dingin, dengan
memulai kata maaf wanita itu mengatakan babi dan sake, sebagai penghangat.
Tentunya kami sudah tidak kaget dengan kenyataan itu, justru itulah yang akan
membuat kami berhati-hati selama di Jepang ini. Beberapa menit berbincang,
shuttle bus Bandara datang. Betapa ramahnya sopir bus tersebut dan betapa
rendah hatinya wanita itu karena tidak
enak jika kami membantu membawakan koper. Memang di Jepang ini hampir dilakukan
sendiri selama masih mampu, pelayanan umumpun katanya banyak yang “self
service”. Untuk pastinya aku masih belum mengetahuinya. Busnya sangat nyaman.
Akhirnya tahu juga bagaimana tertibnya lalu lintas di Jepang. Shuttle bus ini
free atau gratis, padahal jauh rutenya ke tempat perhentian bus didekat Bandara
Fukuoka.
Sesampainya
di perhentian bus, wanita yang tadi memberi tahu tentang rute ke Kumamoto
memberi contoh tentang membeli tiket bus di Jepang. Bus yang tersisa adalah bus
terakhir dengan jadwal 10.20 PM. Katanya bus di Jepang tidak akan telat. Disana
kami juga dibantu oleh penjaga tempat tersebut. Disini tersebar luas kantin
kejujuran dan pembelian tiket pun itu memakai mesin, tidak di loket. Akhirnya
mengenai “self service” sedikit terjawab. Perbincangan
kami lanjutkan hingga bus datang, aku hanya membayar 1800 yen untuk sampai
Torichotsuji, Kumamoto agar sampai. Jika disetarakan dengan rupiah sekitar
200.000 rupiah.
Lancar jaya perjalanan malam ini. Waktu
melihat jendela dan mendapati tempat parkir umum, kaget dengan tarif parkir
yang berlaku. 100-600 yen/jam. Pantas saja,
disini banyak sekali yang mengendarai sepeda dan jalan kaki. Itu hanya
pandangan awal tentang Jepang, mungkin besok pagi akan kutemukan jawabannya.
Di
bus, kami berkenalan dengan teman Malaysia. Dia hanya mengunjungi temannya di
Jepang. Perjalanan ke Kumamoto kiranya membutuhkan waktu hingga dua jam. Benar
saja, dalam waktu tempuh ini aku belajar. Belajar tentang kesadaran masyarakat
Jepang, keramahannya dan keinginannya membantu orang lain dengan penuh
totalitas.
Mataku
tak berhenti memandang keindahan Jepang dan kesederhanaannya. Semuanya berjalan
seperti robot, seperti sudah ada yang mengendalikan. Tertib sekali, dan aku kembali
jatuh cinta dengan sikap di Jepang.
Disini
aku melihat semua berlalu lalang tanpa merepotkan orang lain. Pintu jalan tl
tanpa penjaga, pintu gerbang tanpa penjaga, tukang parkir yang tidak ada,
semuanya hampir bisa dilakukan sendiri. Juga dengan lampu-lampu ditempat umum
yang banyak memakai sensor, jadi jika tidak dipakai akan redup sendiri.
Bus
di Jepang memiliki standar keamanan dan kenyamanan yang tinggi, kemudian disini
tidak ada kernet (sebutan Indonesia). Semua dilakukan sendiri oleh sopir.
Bagasi maupun pembayaran yang terstruktur. Untuk pembayaran sudah disediakan
didekat sopir, kita hanya memasukkan karcis yang telah kita beli atau membayar
langsung dengan memasukkan uang dan mesin tersebut akan mudah mendeteksi.
Akhirnya
mata ini lelah menunggu, sejenak terpejam dan ketika terbangun ternyata aku
masih belum sampai Kumamoto. 10 menit kemudian, wanita yang menolongku itu
memencet tombol yang terletak diatas tempat duduk, itu adalah tanda untuk
menginformasikan kepada sopir bahwa akan turun. Akupun bergegas bersiap-siap.
Tibalah
akhirnya pada pertigaan yang luas jalannya dan berdiri kokoh bangunan- bangunan
modern. Namun bangunan itu masih dengan kesederhanaannya. Sesampainya pada
Torichotsuji, aku turun dan kembali akan melanjutkan perjalanan dengan taksi,
karena bus pada dini hari sudah tidak ada. Aku dan Kak Fauzi menanyakan rute ke
Kumamoto Islamic Center, tempat yang akan menjadi rumah sementara di Jepang.
Ya, KIC adalah satu-satunya masjid di Kumamoto, disana ada mahasiswa Indonesia
dan dosen yang berbaik hati membantu kami agar bisa menyewa dengan harga yang
relatif terjangkau.
Wanita
itu bertanya “are you muslim?” dan tentunya pasti karena aku memakai kerudung,
dan dia berkata “I’m muslim too”. Subhanallah, Allah mempertemukanku dengan
penduduk muslim pertama disini. Dia bercerita memiliki suami orang Thailand dan
sebenarnya tinggal di mt. Aso. Salah satu gunung dengan kawah terbesar didunia.
Sebelumnya saat di Torichotsuji, kami berada
di seberang jalan. Saat itu tampak lengang, kupikir kita boleh begitu saja
menyeberang, ternyata tidak. Kita harus tetap mengikuti rambu penyeberangan dan
berada di zebracross. Wah.. kalau di Kampung halaman bisa dilanggar itu.
Mobil-mobilpun berhenti jauh di belakang tempat penyeberangan. Setelah itu kami
menghampiri taksi-taksi yang ada, namun nihil tidak ada yang mengetahui KIC.
Dengan sangat baiknya wanita itu totalitas mencari informasi untuk kami,
petugas disana juga sangat perhatian, yang ikut serta pula untuk mencarikan.
Sungguh, rasa kebersamaan snagat terasa disini. Meskipun bahasa kita terkadang
berbeda tapi mereka mudah menangkap apa yang kita maksud.
Setelah
menanyai sopir taksi satu persatu akhirnya kami menemukan salah satu sopir
taksi yang mengetahui. Aku diminta segera memasukkan koper oleh wanita itu.
Saat berpamitan untuk menuju KIC dengan taksi tersebut, wanita itu mengeluarkan
dompetnya dan member 3000 yen atau setara 320.000 rupiah untuk membayar taksi.
Sungguh, kami sudah berusaha menolaknya tapi beliau tetap meyakinkan untuk
membawa uang tersebut.
Akhirnya
kami menerima uang itu, mungkin karena dia merasakan satu saudara dalam Islam,
dan ini merupakan pelajaran kesekian kalinya hari pertama di Jepang. Berbuat
kebaikan tidak usah terlalu banyak di pikir, langsung aksi, begitu mungkin
keyakinan wanita tersebut. Didalam taksi aku hanya malu, terkadang masih
menunda kebaikan karena terhasut nafsu, meolong orang terkadang ala kadarnya,
semuanya hampir bertolak belakang. Aku berharap dapat mengaplikasikannya
setelah aku pulang dari Jepang di Indonesia.
Sesampainya
di sebuah tempat setelah belokan pertigaan, aku turun dan sopir taksi itu
memastikan kami sampai tempat dengan baik, aku dan Kak Fauzi kemudian mengetuk
pintu apato tersebut. Tidak ada respon, namun beberapa saat kemudian ada seorang
mahasiswa keluar, sepertinya baru belajar karena mereka keluar mengambil sebuah
buku. Wah… pantas saja Jepang standar edukasinya tinggi. Setelah menanyakan
ternyata kami salah tempat, untungnya KIC berada di samping apato terebut jadi
kami tidak perlu berjalan jauh. Pengalaman yang luar biasa sebelum mengikuti
pembukaan konferensi mahasiswa tersebut. Semua berbuah kenangan dan untaian
hikmah di sepertiga malam yang ada.
Sesampainya
di KIC kami disambut baik oleh dosen dan mahasiswa Indonesia. Kami dijelaskan
peraturan dengan standar Jepang yaitu semua standar kering. Kamar mandi/
toilet, tempat wudhu semua terlihat bersih dan rapi. Itulah saat aku belajar
untuk belajar lebih teratur.
Waktu
sudah pagi ternyata, saatnya mengulum selimut dan futon untuk beristirahat sejenak.
Oyasuminasai!!!
Kamar 305, Kumamoto Islamic Center
Kumamoto, 11-12-13/02.30 AM (JPN)
Vita Ayu Kusuma Dewi
oleh2 :)
ReplyDeletemaaf, siapa ini?
ReplyDeleteSelamat ya dik :) semoga bisa berlanjut ke negara yang diinginkan, aamiin
ReplyDeleteaamiin, afwan ini dengan siapa?
ReplyDelete