Diorama Rindu

Bismillahirrahmaanirrahiim
Memantabkan niat sebelum menempuh perjalanan. Memeriksa segala kelengkapan yang kiranya akan dibutuhkan. Kembali menghadap cermin, sekali lagi memantaskan diri untuk bertemu kawan-kawan yang satu bulan ini terpisahkan waktu. Pintu kamar tertutup, segera menapaki jejak langkah demi langkah melewati puluhan anak tangga untuk sampai dasar. Sebuah armada klise berwarna merah menyala siap untuk menerjang jalan kota Malang yang begitu padat.
 
Mobil-mobil berjajar menunggu antrian lampu merah perempatan Veteran. Petugas PDAM sedang menikmati penggalian tepi jalan dengan pipanya yang mencuat dibadan jalan. Tampak hiruk pikuknya suasana kota yang memanaskan raga. Belum lagi motor-motor yang tak mau kalah dengan roda empat, terpaksa RB, panggilan sayang kepada sepedaku harus mengalah demi keamanan. Pelan tapi pasti, menuju tempat yang telah lama dirindu bersama orang-orang besar.
 
Tiba pada pertigaan didepan Kampus Putih, Kampus Kedokteran sebuah Universitas yang cukup menggema namanya hingga keluar kota. Kupandangi suasana masih tampak lengang, motor-motor masih berjajar berserakan, ternyata parkir berada dibelakang Kampus. Asing, begitulah kiranya yang tercipta membayangi pikiran. Segera kuparkir armadaku dan aku bergegas mencari ruang yang telah ditentukan.
 
“Maaf Mas, mau tanya ruang fisiologi sebelah mana?” tanyaku pada tukang parkir yang sedang bertugas
 
“Oh.. ini lurus nanti naik ke atas Mbak, gedung baru” jawabnya singkat
 
Tak melupakan ucapan terima kasih, aku segera mengikuti langkah kakiku tentunya dengan arah yang telah disarankan. Sesampainya dilantai dua sebuah gedung, suasana masih saja sepi.
 
“Rara, kamu ada acara apa disini?” tanya sesosok wanita dari arah yang berlawanan
 
“Lho, subhanallah kita bertemu disini. Kamu kuliah disini ya Fan?” aku girang, ternyata dia adalah Fany, teman SMP ku yang sedang menempuh kuliah di fakultas kedokteran universitas tersebut. Tanpa aba, kami saling melaksanakan ritual ketika bertemu. Seucap sapa diikuti gerakan tubuh yang biasa kami lakukan ketika SMP dulu.
 
“Fan, ruang fisiologi sebelah mana? Tadi aku tanya Mas yang jaga parkir katanya digedung ini lantai dua” keluhku
 
“Oh.. bukan Ra, ruang fisiologi itu ada digedung depan samping masjid nanti ada tangga naik saja” jawab Fany sambil menunjuk arah
 
“Ra, aku duluan ya, sudah ditunggu teman-teman untuk praktikum soalnya” tambahnya.
 
Segera kulambaikan tangan kepada Fany, sejenak aku tercengang. Kembali mengulas memori masa lalu. Aku rindu ayah. Ayah yang selalu ingin anaknya menjadi seorang dokter. Sampai saat ini aku belum bisa mewujudkannya. Ayah yang ingin anaknya membanggakan orang tua dan sampai saat ini aku belum sepenuhnya mencapai titik itu. Ah…ingatanku kembali pada Ayah. Aku merindukan saat-saat aku mencapai titik itu, setidaknya merasakan apa yang ayah harapkan terhadapku. Menjadi mahasiswa fakultas kedokteran sejenak.
 
Tak mau terlarut aku segera menuruti ucapan Fany, tentang letak ruang fisiologi. Memandangi tembok-tembok berwarna putih, mencoba mengusap majalah dinding yang berisi informasi kesehatan, mengikuti gerak mata untuk selalu mengarah  pada mahasiswa berbaju putih yang berlalu lalang. Rinduku membucah akan impian-impianku.
 
“…Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216)

Seorang mahasiswi teknik yang berharap merasakan kelas mahasiswa kedokteran, bagai merindukan bulan ditengah terik matahari. Kupercepat langkahku agar dapat fokus, sampailah pada depan masjid. Menengok sejenak kearah dalam, tiba-tiba ada perasaan tak terdifinisikan hadir menyeruak ditengah perjalanan. Kulafadzkan kata-kata cinta, kulantunkan ayat demi ayat meski beberapa menit berlalu. Kembali fokus pada jalanan tangga yang sedikit curam, kulihat diatas sana sudah ada wajah-wajah yang pernah kulihat.
 
“Assalamu’alaykum.. Rara, khaifa haluki?” sapa seorang kawan, Mbak Andini

“Wa’alaykumsalam.. Alhamdulillah khair. Mbak?” balasku dengan bersalaman
 
“Alhamdulillah Allah masih memberikan mbak kesehatan hingga saat ini. Ayo Ra masuk saja” ujar Mbak Andini
 
Mbak Andini menarik tanganku untuk segera masuk kedalam ruangan. Bangku kuliah berjajar, LCD telah siap dengan komponen-komponennya. Namun masih terlihat banyak bangku kosong disekitarku. Kupastikan banyak yang telat karena agenda lain.
 
Aku termenung kembali karena banyak peserta yang belum datang. Kuambil buku kecil tempat ku berkeluh kesah. Kutuliskan bait demi bait.
 
“Ya Rabb, indahnya jalan-Mu kepadaku. Kau mempertemukanku dengan orang-orang hebat, kau pertemukanku dengan orang-orang yang menguatkan aku meski kadang rasa sakit itu hadir karena aku tak bisa seperti mereka. Ya Rabb, aku rindu akan suasana yang kuimpikan. Aku rindu akan jalan yang Engkau ridhoi agar aku merasakan seperti mereka. Ya Rabb, sebentar saja, peluklah rinduku dijalan-Mu. Kau titipkah rahmat kepada tangan ini agar dapat bermanfaat bagi orang lain….”
 
“Assalamu’alaykum Mbak Rara” sapa itu menghentikan penaku. Segera kukutup dan kukemas rapi dalam tas kecilku. Aku kembali fokus pada lingkunganku.
 
“Wa’alaykumsalam Dik Nia, masih ada kuliah tadi?” tanyaku
“Iya Mbak, dilanjut praktikum anatomi” jawabnya
 
“Tetap semangat ya dengan agendanya, insyaallah akan ada kabar gembira diakhir nanti” pungkasku
 
“Aamiin… semoga Mbak juga” balasnya senyum

Tak berapa lama, penggagas kegiatan datang. Dengan tas yang dijinjingnya, dengan lihai mengambil laptop dan mencolokkan kabel LCD pada laptop. Moderator mulai beraksi. Beberapa perkataan yang biasa dilontarkan seorang moderator, dibumbui beberapa motivasi bagi kami para relawan.
 
Absensi juga mulai beredar sejalan dengan waktu yang terus berputar. Aku berusaha fokus terhadap apa yang ingin disampaikan. Ku eja satu persatu huruf yang tersorotkan oleh pantulan LCD.  “CIRCUMCISION” itulah hasil pembacaanku. Agak aneh mendengarnya.
 
Saatnya beralih pada pemateri yang akan menyampaikan apa yang tertera dilayar. Subhanallah tak disangka, itu adalah materi untuk anak-anak kedokteran yang dibagikan kepada kami, para relawan yang beberapa bulan lagi akan berpartisipasi dalam suatu kegiatan sosial.

Haru, sungguh memuji asma-Nya tak henti. Aku mengikutinya dengan seksama. Tiba-tiba pemateri menghentikan penjelasannya.

“Maaf ini anak kedokteran semua atau ada non medis?” tanya dr. Ilham, selaku pemateri.
 
“Ada yang non medis Dok” jawab seorang peserta laki-laki yang berada didepan.
 
“Oh.. tidak apa-apa. Tidak ada larangan kalian mengetahui ini. Justru saya senang bisa membagikan ilmu ini kepada relawan non medis” tegasnya.
 
Sungguh, dari awal hingga akhir materi aku hanya bisa mengucap syukur. Rindu yang selama ini terpendam akhirnya Allah tunjukkan jalan yang tak kusangka. Diruangan aku adalah satu dari lima orang relawan non medis, tiga puluh lebih lainnya adalah murni mahasiswa kedokteran. Jalan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, jalan yang kurindu hingga masanya tiba. Usai kegiatan ini aku masih merindukan kontribusiku kepada dunia luar. Dengan keyakinan yang kuat atas ridho-Nya aku yakin rinduku akan berbalas. Aku yakin rencana-Nya akan membuatku kembali tersadar bahwa sesungguhnya Sang Penguasa memeluk setiap mimpi dan rindu yang kurasakan hingga akhirnya aku tersadar bahwa tak sepantasnya aku mengeluh atas apa yang diberikan kepadaku hingga saat ini.
 
Senja merona diujung barat, kukayuh kembali armadaku menuju tempat persinggahan. Langit menunjukkan keceriaannya seolah ia berbicara kepadaku, indah itu ada waktunya.
***
*Cerita ini ditulis sesaat setelah melalui kegiatan upgrading relawan di Kampus Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Malang (Desember, 2012). Ditulis oleh Rescue Iffah dalam event menulis "Rindu Mahabbah" dan terangkum dalam sebuah antologi berjudul sama dengan tema yang diusung.

Malang, 2 Desember 2013
Vita Ayu Kusuma Dewi


Comments