Terus Belajar hingga Berkeluarga #1

 Bismillahirrahmaanirrahiim 
Lihat umurku, menjalani sisa hidupku. Semua berubah, begitu cepat hampiriku. Semua berlalu, kini ku tlah tumbuh dewasa. Apakah nanti ku bisa beri yang terbaik? Ku teringat akan masa kecilku dulu dengan sejuta harapan hidupku. (Masa Kecil, ST12)

Keluarga, sejak lahir tahun 1993 Alhamdulillah sudah dilahirkan dalam sebuah keluarga kecil Bapak Maryono dan Bu Sulastri dengan Kakak (alm.) Oktiva Tisna Ayu Ambarwati, kemudian tahun 1997 disusul adik tercinta, Mita Ayu Fajar Rini. Kakek yang masih lengkap dan juga masih ada orang tua kakek nenek pada saat itu, belum lagi saudara sepupu, bulek, paklek, om, tante, semuanya, Alhamdulillah lengkap.

Seiring bertumbuhnya usia, keluarga itu lebih luas maknanya. Sebab perlahan, lingkungan semakin luas. Tetap ibuku yang paling hebat, mengajarkan prinsip diri yang masih berlaku hingga saat ini. Pondasi pokoknya telah ditanamkan saat aku masih sangat kecil dan belum mengerti. Baru sadar saat sekarang berada di ranah yang lebih luas, prinsip yang diajarkan oleh ibu benar-benar terpatri. Aku juga tahu saat ini lingkunganku sangat berpengaruh, mereka sebagai perantara Allah yang salah satunya menunjukkan jati diri dan passion ingin kutekuni. Memang, membahas masa kecil tidak akan pernah ada habisnya, kenangannya terlampau banyak, berharga, dan sebagai dasar sebelum aku dilepas dalam dunia luar. 

Terlepas dari tumbuh kembang sebelum usia lima tahun, saat duduk di Taman Kanak-kanak, masih tampak mencekam. Disana masih ada tembakan bebas, ya, masa-masa genting saat itu menjadi hal yang tak terelakkan. Saat usia TK, kelemahan ada pada menggambar. Entah kenapa selalu kesana kemari kalau urusan gambar-menggambar. Namun katanya sejak TK, memang dasarnya banyak tanya tapi pendiam. Saat melihat-lihat kembali hasil gambar saat TK, sedikit terharu. Masih saja ada ternyata. Tercatat, 10 Juli tahun 1999 aku tamat dari TK. Inilah keluarga selanjutnya, Taman Kanak-Kanak PKK. 

Melangkah ke jenjang selanjutnya, masa Sekolah Dasar. Ini adalah masa kompetisi yang tiada tersadar. Saat nasi goreng Lek War masih berharga 200 rupiah, permen seharga 50 rupiah, saat poster AFI masih menjadi hadiah, sampai-sampai poster itu menumpuk di almari kamar di Rumah lengkap dengan riwayat AFI 1 yang pada saat itu aku selalu mencatat siapa tiap minggunya yang harus pulang tereliminasi. Mengingat masa itu, aku tertawa. Rasanya konyol sekali mencatat hal-hal yang tidak penting walau sekarang bisa menjadi inventaris tersendiri. 

Hobi saat di SD ketika kemah adalah menyanyi bersama Pak Edi, guru kesenian, karena saat itu aku hapal sekali lagu-lagu kenangan, seperti Ratih Purwasih, Ebiet, Endang dkk. Pak Edi selalu megiringi dengan alunan gitar khasnya. Di SD ini pernah membantu berjualan es lilin dan kembang gula saat istirahat. Ada satu hal kejadian lucu yang tidak pernah kulupa, saat menjadi juara 1 saat kelas 2 SD. Hanya satu kali bisa mengalahkan saudaraku sendiri, selama kelas 1 hingga 6 SD. Yudo namanya. Saudara sendiri ini dengan lihainya menduduki rangking 1 terus kecuali kelas 2 SD. Parahnya ada kejadian lucu saat kelas 2, melampiaskan kekesalan pada tembok belakang sekolah. Haha.. tembok belakang SD jadi saksi coretan alay anak-anak yang tidak terima akan bayang-bayang kompetisi berhadiah buku tulis satu pak atau 10 biji. SD ini adalah masa sekolah yang penuh warna masalah pelajaran. Selalu ingin menjadi yang terbaik. 

Menjadi protokol dan pembaca Undang-Undang adalah pekerjaan setiap hari senin ketika menginjak kelas akhir. Seperti tidak ada posisi lain yang ditawarkan. Paling-paling hanya menjadi pleton putri kalau di Pramuka. Namun, guru-guru SD sangat ramah, bahkan sampai sekarang masih terbina dengan baik. Alhamdulillah. Hal tak terlupa lainnya adalah saat olahraga di Waduk Sangiran. Saat itu diajari Pak Pur untuk menyeberangi jembatan besi buatan Belanda. Dulu masih tampak menakutkan, sayangnya sekarang hanya tinggal 3 pilarnya yang masih berdiri kokoh. Padahal jika itu masih, akses ke Bojonegoro juga dapat dilalui melewati jalan buatan Belanda tersebut, senangnya masih merasakan sejarah pada saat itu. Pun juga saat SD semua kawan masih lengkap, kalau puasa setelah sholat, menjaring matahari di Waduk Sangiran. Pergi ke Pasar Wage dan Pasar Pahing memakai sepeda bersama sahabat, dan mencari ikan di Sungai sembari belajar renang. Kejadian konyol menjelang ujian kelas 6 adalah dihukum satu kelas lari keliling lapangan karena mencontek berjama’ah dan ada sahabat yang terjebak cinta monyet dengan segala kasusnya yang unik jika diingat kembali. 

Saat SD suka sekali kalau ada kunjungan yang membuat kerajinan, membuat adonan sampo yang saat itu aku gagal membuatnya, adanya makanan tambahan kalau akhir pekan dan yang menakutkan, imunisasi rutin. Namun disinilah pertama kalinya aku menjejak diekstrakurikuler. Sejak kelas 4 SD bergabung dengan pramuka SDN Sumberbening III. Mengikuti lomba tingkat kecamatan adalah prestasi tertinggi bagiku karena sejak kecil orang tua menitik beratkan pada akademik, seolah buta dengan kegiatan luar. Gerak jalan 17 Agustus saat itu juga menjadi langganan, dan SDN Sumberbening III pernah menjadi juara 1, saat itu aku ikut. Piagam saat SD hanya terkumpul dari kegiatan kemah ranting dan lomba gerak jalan. Tercatat tanggal 12 Maret 2005 berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi No.420/633.1/415.054/2005, aku dinyatakan Lulus. Keluarga yang mengajarkan aku dengan kegiatan adalah SDN Sumberbening III, dengan Kepanduannya. 

Pendidikan agama juga menjadi titik penting bagi orang tuaku. Sejak kecil, belajar mengaji dengan Kang Taroji dan Pak Khamim. Dulu mengaji dengan sepantaran dan kakak tingkat saat menunggu waktu magrib, terus ada tahlil saat malam jum’at, ada hafalan setiap minggunya, memaknai juga, sampai membuat dampar atau bangku buat meja di Rumah Pak Khamim. Sayang, hanya sampai SD dan jarang ketika SMP. Namun, Alhamdulillah sampai sekarang beliau masih sering memberikan pesan-pesannya. Meski kadang hanya bisa sowan ke beliau kalau pas pulang atau sekedar berpapasan. Hal yang paling diingat adalah saat sepedaku disembunyikan dirumah kakak tingkat. Konyol lagi ini, gara-gara itu akhirnya kenal sama orang tuanya kakak tingkat. Ada-ada saja ulah kawan-kawan kalau pas mengaji. Inilah salah satu keluargaku, keluarga TPA yang menanamkan nutrisi hati diluar Rumah. 

Proses belajar hingga masa SD yang memberikan banyak pelajaran dan mengingat kembali saat dimana aku bermula. Sebuah hal yang akan kupertanggungjawabkan keberadaannya. Aktivitas diantara 2 pertanyaan saat aku lahir hingga nanti aku kembali kepada Penciptaku. Saat yang kupijak sekarang sebenarnya hanya rangkaian kecil aktivitasku dimasa lampau. Dimana saat aku belum mengerti, belajar lagi hingga tahu, diterangkan lagi menjadi mengerti hingga hanya harapan agar hidup tidak sia-sia. 

 “Terima kasih ya Rabb, saat kecilku kau titipkan aku di keluarga yang mengajarkanku untuk mengenal-Mu, mengenal aturan-Mu, mempertemukanku dengan orang-orang yang mengingatkanku untuk kembali ke jalan-Mu"

*Cerita ini akan berlanjut saat berada di masa SMP, SMA dan Perguruan Tinggi dengan keluarga yang lainnya... ^^

Malang, 20 Januari 2014
Vita Ayu Kusuma Dewi 

Comments

  1. Pendidikan Agama tuh juga manjadi titik terpenting bagi anak2 serta orang tuanya juga

    ReplyDelete
  2. Iya mbak sinta, pendidikan tersebut menjadi pondasi utama seorang anak, akhlaknya, aqidahnya tergantung bagaimana orang tua dan pengaruh lingkungannya :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dimoderasi, yuk sambung silaturahim, saya akan langsung berkunjung balik ke sahabat semua ^^