Bismillahirrahmaanirrahiim
#Gath267 FIMalang with Love, akhir pekan bersama kawan-kawan FIMalang dengan gueststar Kak Kamil dan Kak Agus dari Jakarta. Agenda yang dimulai hari jum’at hingga minggu itu menghadirkan beragam pelajaran. Ya, ini hanya sebuah perjalanan bukan sebuah tujuan.
Jum’at siang sejak kedatangan Kak Kamil dan Kak Agus sebenarnya sudah berjalan-jalan ke Museum Malang Tempo Doeloe dan Bundaran Tugu serta menikmati santapan di RM. Juminten.
Usai agenda siang, ba’da magrib kita berkumpul di meeting point yaitu di Rektorat Universitas Brawijaya. Setelah berkoordinasi sejenak ditunjuklah Kak Fatchul menjadi ketua perjalanan. Setelah sholat isya’ akhirnya mobil yang dikemudikan Kak Kamil dan Kak Izzat melaju menuju Kota Batu.
Dua mobil, dua cerita, dan setiap ceritanya ada kisah yang tak terduga. Didalam mobil yang kutumpangi, bersama Kak Izzat, Kak TB, Kak Bahrul, Kak Arsyad, Kak Agus, Mbak Tasya, dan Mbak Nima, sepajang perjalanan kami membicarakan mesin. Bukan karena ada Kak Agus yang ahli mesin, tapi karena mobil kami sedikit bermasalah yang ternyata setelah ditanyakan baru keluar dari bengkel. Well, kata Kak Agus ini hanya sugesti.
Sesampainya di alun-alun batu ditemani sisa-sisa gerimis dan juga masih berlanjut hingga malam, kami mampir ke Pos Ketan. Selain untuk menunaikan makan malam yang tertunda, disini kami berbincang dengan segala topik yang berlalu lalang menghampiri.
Di Alun-alun Batu hanya sejenak mengingat hujan kembali datang mendekati pukul setengah 11 malam tersebut. Setelah dikumpulkan lagi kami bersiap melaju ke Gunung Bromo, menikmati alam yang didalamnya terdapat pelajaran-pelajaran berharga.
Sebelumnya kami kembali ke UB karena Kak Arsyad dan Mbak Farida ada agenda lain pada hari sabtu, jadi tidak bisa menemani perjalanan ke Bromo. Di MSC kami kembali melingkar kembali mengharap perlindungan Allah untuk keselamatan dan keberkahan perjalanan dini hari tersebut dengan kondisi cuaca yang terus diguyur hujan. Wajar, karena pada hari raya imlek tersebut ada yang berkeyakinan bahwa hujan itu membawa rejeki.
Dilanjutkan cerita masa kecil, masa alay dan masa indah saat SD, SMP,SMA dengan cerita lucunya yang menemani setiap belokan dan sesekali angin kencang terlihat mengoyak pohon-pohon ditepi jalan. Dibeberapa sisi jalan menuju Gunung Bromo terlihat longsor, mungkin karena derasnya hujan yang mengguyur. Hal ini terjadi pula di kawasan Ngantang serta Payung (rute Malang-Kediri) yang pada akhir bulan kemarin dikabarkan putus akibat longsor dan tingginya debit yang menghanyutkan jembatan.
Semua Jeep akan berangkat bersama menuju Penanjakan untuk melihat sunrise pukul 03.30 waktu setempat. Sembari menunggu, ada sebuah kesepakatan, berhubung cuaca dengan hujan yang turun tanpa henti, kemungkinan untuk melihat mentari pagi sangatlah sedikit, jadi jika sampai jam 05.00 WIB kabut masih tebal di Penanjakan dan tidak ada tanda-tanda matahari, kita akan langsung turun menuju Kawah, tegas Kak Fatchul.
Sekitar pukul empat kami sampai di Penanjakan yang telah ramai oleh pengunjung. Kita juga baru sadar bahwa banner dan tripod yang telah disiapkan lupa dibawa karena tertinggal di mobil. Ditempat ini ada wisatawan domestik dan internasional. Ada yang rela naik ojek karena kehabisan Jeep. Semua berpadu. Sembari menunggu, Teh Elis memberikan dongengnya dengan kokologi yang bermakna, seperti dasar-dasar karakter seseorang. Kami juga berbincang tentang mengetahui karakter seseorang saat perjalanan jauh, saat ada tekanan dan saat perniagaan.
Setelah menunaikan ibadah sholat shubuh, arek-arek FIMalang naik ke Bukit Cinta (Love Hill). Kalau diijinkan menerka, mungkin dulu yang menamai bukit ini sedang jatuh cinta atau mungkin bukit inilah yang menghadirkan kecintaannya terhadap sesuatu. Semoga saja dengan berada di Bukit Cinta untuk memandangi alam bebas dan matahari terbit ini menumbuhkan rasa cinta yang lebih kepada Allah, Pencipta alam ini. Kalau bukan karena-Nya, tidak akan pernah ada alam yang indah ini, dan kalau bukan atas ijin-Nya tidak akan pernah sampai kaki ini menginjak ditempat ini.
Ada hal yang menyadarkan kita tentang lingkungan di Bukit Cinta ini. Ya, ajakan Kak Agus untuk mengambil sampah-sampah bekas pengunjung yang sembarang dibuang. Awalnya beliau hanya menanyakan sebuah tas kresek dan ternyata tauladan yang beliau lakukan adalah memunguti sampah. Sebuah jiwa yang tidak dimiliki semua yang mengaku pecinta alam.
Kemudian kami turun menuju lautan pasir berbisik, namun sayangnya bisikannya sangat lembut pada saat itu karena masih basah terkena air hujan. Masya Allah, menghampar luas alam ini dikelilingi tebing-tebing dengan vegetasi yang masih bervariasi. Setiap mata memandang, ada keanekaragaman warna yang terlihat menambah semarak suasana pagi itu. Meski jalan yang dilewati berkelok tajam, sopir Jeep pun masih fokus mengemudikan Jeepnya sembari bercerita kecil dengan kami.
Bersyukur atas kesempatan pagi itu. Serasa diri semakin kecil layaknya semut-semut yang bergerombol menjadi satu kesatuan. Hamparan pasir yang luas, kemudian sisi yang lain menghampar lautan menghijau berkolaborasi dengan warna lain menjadikan gradasi-gradasi warna yang indah. Lalu masihkah kita menyombongkan diri dengan hal-hal kecil yang tak patut dipamerkan? Ini peringatan sekaligus pembelajaran bagi diriku sendiri yang banyak khilafnya.
Puluhan kuda menjalankan tugasnya mengantarkan pengunjung, mereka berpacu semangat dan adapula yang masih lelah hingga berjalan lambat kesana kemari. Antrian panjang kamar mandipun tak terelakkan. Kemudian menyantap bakso rasa eskrim, ditemani suara-suara abang-abang yang mengobral dagangan kaosnya. Semua suara menyatu bersama suara alam. Sesekali kabut tebal turun, kemudian menyingkap berganti pemandangan Gunung Batok dan antrian menuju kawah Gunung Bromo dengan bangunan Pura di bawahnya. Kuasa Allah yang menakjubkan.
Setelah melakukan proses pembuatan video klip “Dia Milikku” dengan artis Kak Kamil dan Kak Fatchul yang gagal karena kuda yang melintas, kami tak mau kalah dengan yang lain. Kamipun segera menuju ke atas dengan memilih tanpa kuda atau lebih tepatnya olahraga jalan kaki. Semakin ke atas semakin merasa hina diri kita.
Sabar karena antrian panjang dan akhirnya disana dipertemukan dengan anak FIM yang lain, yaitu Kak Galang. Karena antriannya tak terkira, kami mencoba jalur pasir yang terletak disisi barat. Ya, resiko yang diambil siap-siap saja terguling ke jalur aliran vulkanik dibawah melewati lereng curam. Dengan hati-hati dan saling memberi komando kami berjalan perlahan. Kata seorang pengunjung, hitung-hitung latihan sebelum kesana, sambil menunjuk arah Puncak para Dewa, Mahameru.
Sesampainya diatas, kedatangan kami menggemparkan dengan teriakan-teriakan ala aksi. Kalau kata Kak Fatchul “sebuah keniscayaan jika kehadiran anak FIM tidak menggemparkan”. Menikmati aroma belerang yang menyengat, menyanyi, melihat Kak TB yang membuat video kasih sayang dalam rangka milad Ibunya, menyaksikan Kak Kamil yang hari itu juga sedang milad, dan yang dilakukan Mbak Ummul mengasah kemampuan bahasa arabnya dengan mengobrol bersama pengunjung dari Aljazair. Indahnya sebuah kekeluargaan dipinggir kawah Gunung Bromo diatas ketinggian 2392 mdpl. Bukan ketinggian yang kami cari namun sebuah hikmah perjalanan yang menghiasi untuk perbaikan diri.
Usai memandang kekayaan alam Indonesia, kami segara turun selain karena waktu yang sudah melewati batas, kabut juga kembali menyelimuti hingga jarak pandang sangat minimum. Kami memilih jalur aman atau menggunakan tangga karena jika melewati lereng pasir, peluang untuk tergelincir sangat besar.
Dan cerita ini berlanjut hingga perjalanan pulang, kembali ke information center kami berkumpul kembali. Kali ini mau melancarkan aksi untuk Kak Kamil yang semalam setengah gagal. Nuansa yang berbeda mungkin dari tahun-tahun sebelumnya, memancarkan harapan untuk kehidupan yang cerah dan barakah mendatang.
Meski dilanda rasa capai dan lelah, berpetualang selama dua hari memberikan banyak arti. Memberikan suatu pelajaran bahwa sekali lagi ini bukan sebuah tujuan, namun hanya satu episode perjalanan yang tidak akan lengkap tanpa kekeluargaan dan juga mengambil hikmah yang bertaburan. Mungkin semua orang dapat melakukan perjalanan sejauh yang dia mampu, mendaki setinggi yang dia inginkan, tapi tidak semua orang dapat mengambil bulir-bulir hikmah dan selalu menjadikan Allah sebagai tujuannya.
Hari sabtu kemarin bukanlah akhir, karena pada hari minggunya kami masih kembali menikmati hawa Kota Malang di Pasar Wisata Tugu atau Car Free Day Malang. Semoga ini bukanlah akhir perjalanan kita dan inilah tonggak yang membuat kekeluargaan diantara kita semakin bersemi. Akhirnya #Gath267 FIMalang, From Malang with Love.
“Maka apakah mereka tidak pernah berjalan di muka bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (QS. Al-Hajj:46)
#Gath267 FIMalang with Love, akhir pekan bersama kawan-kawan FIMalang dengan gueststar Kak Kamil dan Kak Agus dari Jakarta. Agenda yang dimulai hari jum’at hingga minggu itu menghadirkan beragam pelajaran. Ya, ini hanya sebuah perjalanan bukan sebuah tujuan.
Jum’at siang sejak kedatangan Kak Kamil dan Kak Agus sebenarnya sudah berjalan-jalan ke Museum Malang Tempo Doeloe dan Bundaran Tugu serta menikmati santapan di RM. Juminten.
Usai agenda siang, ba’da magrib kita berkumpul di meeting point yaitu di Rektorat Universitas Brawijaya. Setelah berkoordinasi sejenak ditunjuklah Kak Fatchul menjadi ketua perjalanan. Setelah sholat isya’ akhirnya mobil yang dikemudikan Kak Kamil dan Kak Izzat melaju menuju Kota Batu.
Dua mobil, dua cerita, dan setiap ceritanya ada kisah yang tak terduga. Didalam mobil yang kutumpangi, bersama Kak Izzat, Kak TB, Kak Bahrul, Kak Arsyad, Kak Agus, Mbak Tasya, dan Mbak Nima, sepajang perjalanan kami membicarakan mesin. Bukan karena ada Kak Agus yang ahli mesin, tapi karena mobil kami sedikit bermasalah yang ternyata setelah ditanyakan baru keluar dari bengkel. Well, kata Kak Agus ini hanya sugesti.
Sesampainya di alun-alun batu ditemani sisa-sisa gerimis dan juga masih berlanjut hingga malam, kami mampir ke Pos Ketan. Selain untuk menunaikan makan malam yang tertunda, disini kami berbincang dengan segala topik yang berlalu lalang menghampiri.
Di Alun-alun Batu hanya sejenak mengingat hujan kembali datang mendekati pukul setengah 11 malam tersebut. Setelah dikumpulkan lagi kami bersiap melaju ke Gunung Bromo, menikmati alam yang didalamnya terdapat pelajaran-pelajaran berharga.
Sebelumnya kami kembali ke UB karena Kak Arsyad dan Mbak Farida ada agenda lain pada hari sabtu, jadi tidak bisa menemani perjalanan ke Bromo. Di MSC kami kembali melingkar kembali mengharap perlindungan Allah untuk keselamatan dan keberkahan perjalanan dini hari tersebut dengan kondisi cuaca yang terus diguyur hujan. Wajar, karena pada hari raya imlek tersebut ada yang berkeyakinan bahwa hujan itu membawa rejeki.
*
Perjalanan yang lumayan panjang, masih tentang hal yang sama, mobil yang kutumpangi masih terdapat segudang cerita. Disela-sela itu menggunakan waktu untuk menyelesaikan tilawah, setelah semua usai, sistem tidur bergilir untuk menemani Kak Izzat mengemudi mulai diberlakukan. Namun ternyata bukan sebuah sistem karena kita tidak sengaja dan tidak dijadwal tidur sebelumnya. Kisah dini hari itu adalah antara kegalauan skripsi dan dosen pembimbing. Saling sharing untuk menaklukkan hati dosen pembimbing, juga mengutip perkataan Mbak Nima yang merupakan pesan dari Kak Agus, “kalau kamu ditanya tentang skripsimu jelaskan dari awal sampai akhir, sekaligus untuk belajar ketika sidang”. Kurang lebih seperti itu quote yang mengandung pesan sakral didalamnya. Dilanjutkan cerita masa kecil, masa alay dan masa indah saat SD, SMP,SMA dengan cerita lucunya yang menemani setiap belokan dan sesekali angin kencang terlihat mengoyak pohon-pohon ditepi jalan. Dibeberapa sisi jalan menuju Gunung Bromo terlihat longsor, mungkin karena derasnya hujan yang mengguyur. Hal ini terjadi pula di kawasan Ngantang serta Payung (rute Malang-Kediri) yang pada akhir bulan kemarin dikabarkan putus akibat longsor dan tingginya debit yang menghanyutkan jembatan.
*
Pukul 02.35 waktu setempat, sampailah kami diperhentian terakhir mobil pengunjung. Mulai dari sana kita akan berpindah armada dengan Jeep yang telah disewa. Awan yang semula cerah kembali menghitam, hujan kembali mengguyur ratusan orang yang tengah bersiap dengan segala perlengkapannya tersebut. Pengunjung pada awal bulan itu meningkat, namun tak sebanyak ketika awal tahun. Penjaja perlengkapan seperti sarung tangan, topi, jaket berebut menawarkan dagangannya dengan gaya yang khas “bagi rejekinya mas, mbak”.Semua Jeep akan berangkat bersama menuju Penanjakan untuk melihat sunrise pukul 03.30 waktu setempat. Sembari menunggu, ada sebuah kesepakatan, berhubung cuaca dengan hujan yang turun tanpa henti, kemungkinan untuk melihat mentari pagi sangatlah sedikit, jadi jika sampai jam 05.00 WIB kabut masih tebal di Penanjakan dan tidak ada tanda-tanda matahari, kita akan langsung turun menuju Kawah, tegas Kak Fatchul.
Sekitar pukul empat kami sampai di Penanjakan yang telah ramai oleh pengunjung. Kita juga baru sadar bahwa banner dan tripod yang telah disiapkan lupa dibawa karena tertinggal di mobil. Ditempat ini ada wisatawan domestik dan internasional. Ada yang rela naik ojek karena kehabisan Jeep. Semua berpadu. Sembari menunggu, Teh Elis memberikan dongengnya dengan kokologi yang bermakna, seperti dasar-dasar karakter seseorang. Kami juga berbincang tentang mengetahui karakter seseorang saat perjalanan jauh, saat ada tekanan dan saat perniagaan.
Setelah menunaikan ibadah sholat shubuh, arek-arek FIMalang naik ke Bukit Cinta (Love Hill). Kalau diijinkan menerka, mungkin dulu yang menamai bukit ini sedang jatuh cinta atau mungkin bukit inilah yang menghadirkan kecintaannya terhadap sesuatu. Semoga saja dengan berada di Bukit Cinta untuk memandangi alam bebas dan matahari terbit ini menumbuhkan rasa cinta yang lebih kepada Allah, Pencipta alam ini. Kalau bukan karena-Nya, tidak akan pernah ada alam yang indah ini, dan kalau bukan atas ijin-Nya tidak akan pernah sampai kaki ini menginjak ditempat ini.
Ada hal yang menyadarkan kita tentang lingkungan di Bukit Cinta ini. Ya, ajakan Kak Agus untuk mengambil sampah-sampah bekas pengunjung yang sembarang dibuang. Awalnya beliau hanya menanyakan sebuah tas kresek dan ternyata tauladan yang beliau lakukan adalah memunguti sampah. Sebuah jiwa yang tidak dimiliki semua yang mengaku pecinta alam.
Kemudian kami turun menuju lautan pasir berbisik, namun sayangnya bisikannya sangat lembut pada saat itu karena masih basah terkena air hujan. Masya Allah, menghampar luas alam ini dikelilingi tebing-tebing dengan vegetasi yang masih bervariasi. Setiap mata memandang, ada keanekaragaman warna yang terlihat menambah semarak suasana pagi itu. Meski jalan yang dilewati berkelok tajam, sopir Jeep pun masih fokus mengemudikan Jeepnya sembari bercerita kecil dengan kami.
Bersyukur atas kesempatan pagi itu. Serasa diri semakin kecil layaknya semut-semut yang bergerombol menjadi satu kesatuan. Hamparan pasir yang luas, kemudian sisi yang lain menghampar lautan menghijau berkolaborasi dengan warna lain menjadikan gradasi-gradasi warna yang indah. Lalu masihkah kita menyombongkan diri dengan hal-hal kecil yang tak patut dipamerkan? Ini peringatan sekaligus pembelajaran bagi diriku sendiri yang banyak khilafnya.
Puluhan kuda menjalankan tugasnya mengantarkan pengunjung, mereka berpacu semangat dan adapula yang masih lelah hingga berjalan lambat kesana kemari. Antrian panjang kamar mandipun tak terelakkan. Kemudian menyantap bakso rasa eskrim, ditemani suara-suara abang-abang yang mengobral dagangan kaosnya. Semua suara menyatu bersama suara alam. Sesekali kabut tebal turun, kemudian menyingkap berganti pemandangan Gunung Batok dan antrian menuju kawah Gunung Bromo dengan bangunan Pura di bawahnya. Kuasa Allah yang menakjubkan.
Setelah melakukan proses pembuatan video klip “Dia Milikku” dengan artis Kak Kamil dan Kak Fatchul yang gagal karena kuda yang melintas, kami tak mau kalah dengan yang lain. Kamipun segera menuju ke atas dengan memilih tanpa kuda atau lebih tepatnya olahraga jalan kaki. Semakin ke atas semakin merasa hina diri kita.
Sabar karena antrian panjang dan akhirnya disana dipertemukan dengan anak FIM yang lain, yaitu Kak Galang. Karena antriannya tak terkira, kami mencoba jalur pasir yang terletak disisi barat. Ya, resiko yang diambil siap-siap saja terguling ke jalur aliran vulkanik dibawah melewati lereng curam. Dengan hati-hati dan saling memberi komando kami berjalan perlahan. Kata seorang pengunjung, hitung-hitung latihan sebelum kesana, sambil menunjuk arah Puncak para Dewa, Mahameru.
Sesampainya diatas, kedatangan kami menggemparkan dengan teriakan-teriakan ala aksi. Kalau kata Kak Fatchul “sebuah keniscayaan jika kehadiran anak FIM tidak menggemparkan”. Menikmati aroma belerang yang menyengat, menyanyi, melihat Kak TB yang membuat video kasih sayang dalam rangka milad Ibunya, menyaksikan Kak Kamil yang hari itu juga sedang milad, dan yang dilakukan Mbak Ummul mengasah kemampuan bahasa arabnya dengan mengobrol bersama pengunjung dari Aljazair. Indahnya sebuah kekeluargaan dipinggir kawah Gunung Bromo diatas ketinggian 2392 mdpl. Bukan ketinggian yang kami cari namun sebuah hikmah perjalanan yang menghiasi untuk perbaikan diri.
Usai memandang kekayaan alam Indonesia, kami segara turun selain karena waktu yang sudah melewati batas, kabut juga kembali menyelimuti hingga jarak pandang sangat minimum. Kami memilih jalur aman atau menggunakan tangga karena jika melewati lereng pasir, peluang untuk tergelincir sangat besar.
Dan cerita ini berlanjut hingga perjalanan pulang, kembali ke information center kami berkumpul kembali. Kali ini mau melancarkan aksi untuk Kak Kamil yang semalam setengah gagal. Nuansa yang berbeda mungkin dari tahun-tahun sebelumnya, memancarkan harapan untuk kehidupan yang cerah dan barakah mendatang.
Meski dilanda rasa capai dan lelah, berpetualang selama dua hari memberikan banyak arti. Memberikan suatu pelajaran bahwa sekali lagi ini bukan sebuah tujuan, namun hanya satu episode perjalanan yang tidak akan lengkap tanpa kekeluargaan dan juga mengambil hikmah yang bertaburan. Mungkin semua orang dapat melakukan perjalanan sejauh yang dia mampu, mendaki setinggi yang dia inginkan, tapi tidak semua orang dapat mengambil bulir-bulir hikmah dan selalu menjadikan Allah sebagai tujuannya.
Hari sabtu kemarin bukanlah akhir, karena pada hari minggunya kami masih kembali menikmati hawa Kota Malang di Pasar Wisata Tugu atau Car Free Day Malang. Semoga ini bukanlah akhir perjalanan kita dan inilah tonggak yang membuat kekeluargaan diantara kita semakin bersemi. Akhirnya #Gath267 FIMalang, From Malang with Love.
*
***
*Semua dokumentasi diambil dari kamera kak Kamil
Saya suka banget momen ini, terima kasih yang tidak sengaja mengarahkan kameranya kepada saya.hehe
***
Malang, 3 Januari 2014
Vita Ayu Kusuma Dewi
Vita Ayu Kusuma Dewi
wah, seru sekali, pengen ikutan tapi baru "ambruk" krn dari luar kota, semoga lain kali bisa ikut gathering fim malang :)
ReplyDeletesalam kenal ya, Endah FIM VII
wuidih...seruh pisan tah. gathering fim Malang nya, pasti penuh dengan kenangan indah deh yah
ReplyDeleteMbak Endah : Aamiin semoga bisa ikut dan ngadain lg gathering yg lainnya :)
ReplyDeleteSalam kenal saya vita Fim 15 mbak :)
Cilembu thea : iya mas alhamdulillah :)
ReplyDelete