Bismillahirrahmaanirrahiim
Denting jarum jam menunjukkan pukul dua siang, ayah sudah memberi kode untuk berangkat menuju stasiun Paron, Ngawi. Wajar saja, rumahku yang terletak 21 km kearah timur dari pusat kota Ngawi membutuhkan jarak tempuh lebih jika ingin mengemudi santai. Akhirnya berangkatlah aku, adik, ayah dan ibu menuju stasiun Paron. Kereta Kahuripan kupilih atas rekomendasi seorang kakak tingkat yang kuliah di Bandung. Rencananya aku berangkat tanggal 7 kemarin, sayangnya ada suatu agenda yang memang tidak bisa kutinggalkan.
Sesampainya di stasiun kutukarkan struk pembelian tiket dari indomaret dengan tiket kereta yang asli kemudian masih sempat menikmati mie ayam stasiun bersama adik, Mita. Waktu perlahan berlalu. Pukul 16.10 WIB kereta Kahuripan Kediri-Bandung telah tiba. Gerbong nomor 2 dengan tempat duduk 7C menjadi teman setia satu malam ini. Sudah kubayangkan sebelumnya, perjalanan malam ini akan sama seperti perjalanan beberapa tempo waktu yang lalu, saat aku berada di kereta Matarmaja, jurusan Malang-Jakarta. Bagaimana tidak, lagi-lagi kereta ekonomi yang kupilih. Tapi kenikmatan memilih kereta ekonomi tidak akan pernah tergantikan, saling berbagi, saling berinteraksi dengan mereka bapak-bapak dan ibu-ibu pedagang asongan dan pengamen yang mencari nafkah sambil menenteng keranjang besar keliling gerbong.
Masih sore, 40 menit setelah keberangkatan, sampailah aku pada stasiun Walikukun yang berada pada elevasi +75. Kuselesaikan membacaku dan kunikmati alam luar dari balik jendela. Saat aku memandang keluar, tiba-tiba ada wanita muda yang memakai daster putih dan dalam kondisi hamil datang ke bangku depanku yang masih kosong. Dia meminta ijin untuk men-charge HP-nya yang mati. Sayangnya charger yang ia bawa tidak pas. Diapun meminta kepadaku mengeluarkan chargerku, karena tidak ada gelagat aneh, akupun mengeluarkannya. Alhasil, chargerku juga tidak cocok. Diapun berdiri dan meminta bantuan kepada laki-laki yang memiliki ponsel yang sama dengannya, namun laki-laki itu tidak mau meminjamkan. Wanita itu mulai naik darah, satu persatu umpatan mulai keluar dan sedikit menyudutkan tentang laki-laki. Diapun duduk kembali didepanku dan emosinya tak kunjung surut.
Kemudian aku menawarkan untuk mengirimkan sms ke suaminya dengan ponselku tapi wanita itu tak hafal dengan nomor suaminya. Nadanya kembali meninggi seolah sangat kesal dan disebutnya berkali-kali tentang harga diri. Disinilah mulai ada yang mengganjal, wanita itu meminta untuk mengacak saja nomornya dengan akhiran 87. Ya sekarang kalau dipikir kelogisannya sangat tidak memungkinkan nomor itu benar. Peluang kebenarannya sepersekian-sekian persen, itupun jika beruntung, kecuali dari 12 digit hanya kurang satu angka, itu masih logis.
Saat itu ada Bapak pedagang asongan memberikan kode bahwa wanita itu tadi sedikit mengalami gangguan jiwa. Wanita itu tetap berbicara denganku, kutanggapi sebisaku dan seperlunya yang dibutuhkan tapi aku tetap mendengarkan satu persatu detail yang ia ucapkan. Penumpang lain hingga ada yang memanggilkan satpam tapi aku masih berinteraksi dengan wanita itu. Seperti ada bekas luka terhadap laki-laki namun terlihat kesetiannya yang terus menceritakan suaminya. Satpampun menghampiri, wanita itu pergi dan satpam banyak bertanya kepadaku tentang wanita itu. Kujelaskan dan kuakhiri dengan sebuah kalimat "dia hanya ingin didengar pak, yang sabar saja menghadapinya, sekali dia dibentak dengan nada tinggi, dia pasti melawan pak".
Saat itu aku masih menggenggam buku kecil terbitan Indiva Pustaka ditanganku, aku berkata kepada wanita itu "mbak, aku moco iki disik ya". Dia mengiyakan dan diulanginya beberapa kali menanyakan kepadaku "sampean percoyo kan mbak mbi aku, lek ono sing ganggu sampean ngomongo neng aku, tak idak-idake"
Satu hal yang benar-benar kugaris bawahi sore ini tentang "HARGA DIRI, HARGA MATI". Saya tidak mau men-judge wanita tersebut, namun kita sering diberi pesan "Jangan melihat siapa yang mengatakan namun dengarkan apa yang dikatakan". Sebagai wanita, ini sangat penting. Dia juga berpesan jangan pernah menyerahkan diri ini kepada laki-laki yang bukan suami kita. Rasanya sambil mendengar gesekan antara roda dan rel, jleb banget kata-kata wanita ini, jika melihat kondisi perempuan pada masa kini. Astaghfirullah... Walau akhirnya hanya sampai di stasiun Solo Jebres, wanita itu turun dan tergantikan penumpang lain hingga sampai Bandung, pesan-pesan yang sudah kusaring tersebut pasti akan sangat bermanfaat untukku dan semua wanita di seluruh dunia.
Kereta sempat mengalami masalah lampu yang mati sehingga perbaikan ditengah jalan pun dilakukan. Kemudian kereta terasa sedikit sesak karena di stasiun Lempuyangan banyak yang masuk mengisi satu persatu kursi yang masih kosong. Semoga cerita singkat ini dapat bermanfaat ^^
Kemudian aku menawarkan untuk mengirimkan sms ke suaminya dengan ponselku tapi wanita itu tak hafal dengan nomor suaminya. Nadanya kembali meninggi seolah sangat kesal dan disebutnya berkali-kali tentang harga diri. Disinilah mulai ada yang mengganjal, wanita itu meminta untuk mengacak saja nomornya dengan akhiran 87. Ya sekarang kalau dipikir kelogisannya sangat tidak memungkinkan nomor itu benar. Peluang kebenarannya sepersekian-sekian persen, itupun jika beruntung, kecuali dari 12 digit hanya kurang satu angka, itu masih logis.
Saat itu ada Bapak pedagang asongan memberikan kode bahwa wanita itu tadi sedikit mengalami gangguan jiwa. Wanita itu tetap berbicara denganku, kutanggapi sebisaku dan seperlunya yang dibutuhkan tapi aku tetap mendengarkan satu persatu detail yang ia ucapkan. Penumpang lain hingga ada yang memanggilkan satpam tapi aku masih berinteraksi dengan wanita itu. Seperti ada bekas luka terhadap laki-laki namun terlihat kesetiannya yang terus menceritakan suaminya. Satpampun menghampiri, wanita itu pergi dan satpam banyak bertanya kepadaku tentang wanita itu. Kujelaskan dan kuakhiri dengan sebuah kalimat "dia hanya ingin didengar pak, yang sabar saja menghadapinya, sekali dia dibentak dengan nada tinggi, dia pasti melawan pak".
Saat itu aku masih menggenggam buku kecil terbitan Indiva Pustaka ditanganku, aku berkata kepada wanita itu "mbak, aku moco iki disik ya". Dia mengiyakan dan diulanginya beberapa kali menanyakan kepadaku "sampean percoyo kan mbak mbi aku, lek ono sing ganggu sampean ngomongo neng aku, tak idak-idake"
Satu hal yang benar-benar kugaris bawahi sore ini tentang "HARGA DIRI, HARGA MATI". Saya tidak mau men-judge wanita tersebut, namun kita sering diberi pesan "Jangan melihat siapa yang mengatakan namun dengarkan apa yang dikatakan". Sebagai wanita, ini sangat penting. Dia juga berpesan jangan pernah menyerahkan diri ini kepada laki-laki yang bukan suami kita. Rasanya sambil mendengar gesekan antara roda dan rel, jleb banget kata-kata wanita ini, jika melihat kondisi perempuan pada masa kini. Astaghfirullah... Walau akhirnya hanya sampai di stasiun Solo Jebres, wanita itu turun dan tergantikan penumpang lain hingga sampai Bandung, pesan-pesan yang sudah kusaring tersebut pasti akan sangat bermanfaat untukku dan semua wanita di seluruh dunia.
Kereta sempat mengalami masalah lampu yang mati sehingga perbaikan ditengah jalan pun dilakukan. Kemudian kereta terasa sedikit sesak karena di stasiun Lempuyangan banyak yang masuk mengisi satu persatu kursi yang masih kosong. Semoga cerita singkat ini dapat bermanfaat ^^
Kereta Kahuripan Kediri-Bandung, 8 Februari 2014
Vita Ayu Kusuma Dewi
Comments
Post a Comment
Komentar dimoderasi, yuk sambung silaturahim, saya akan langsung berkunjung balik ke sahabat semua ^^