Malam Minggu, Ketenangan Tak Tergantikan

Bismillahirrahmaanirrahiim
Langit masih setia menaburkan tangisnya, angkot LDG warna biru siap mengantarkanku pada sebuah tempat diselatan Alun-alun Kota Malang. Kantor Pos, malam minggu yang ramai akan kumulai ditempat yang menorehkan warna orange ini. Jalanan tak lagi sepi, malam minggu yang ramai, kata hatiku. Ditengah keramaian ini terbersit sepi menghampiri. Ada lelah yang ingin terlampiaskan, ada rasa yang tertahan tak bisa diungkapkan. Aku hanya ingin menyepi dari keramaian, meski hanya satu malam berjalan menyusuri sudut Kota yang temaram.

Usai bergegas mengejar waktu pukul tujuh tepat, aku bergerak menuju sebuah tempat penuh ketenangan dan kedamaian, Masjid Jami' Kota Malang, waktu yang tepat, saat itu bedug sudah mulai ditabuh. Bersama orang-orang yang telah lanjut namun memberikan tamparan yang keras buatku. Beliau-beliau sangat semangat sekali untuk berjama'ah di Masjid. Meski mereka harus diantar para santri dan berjalan pelan, meski mereka harus memakai tongkat demi bisa berdiri tegak, semua berbaur. Lalu bagaimana denganku? Yang masih diberikan anggota tubuh lengkap, mengapa aku tak seperti mereka? Haruskahku menunggu tua renta untuk seperti itu? Astaghfirullah, semoga aku tetap diberi kekuatan untuk tetap istiqomah...

Suasana tenang mulai terasa saat membasuh wajah ini dengan air suci, gelak tawa anak kecil yang sedang berwudhu membuatku haru. Mereka bersemangat meski percikan air membasahi sebagian baju. Hai...aku kemana selama ini? Salahkah aku melangkah?

Mulai masuk diantara kolom-kolom yang tegak berdiri, menginjak lembutnya karpet yang berwarna terang. Semua telah bersiap, memantaskan diri menunggu menghadap Rabb-nya. Kudapati mayoritas Ibu-ibu yang berada disini, seusiaku mungkin dapat dihitung jari. Hanya beberapa, namun dari raut mukanya terpancar ketenangan dikala malam menjelang. Mereka sepertinya terlarut, terlarut dengan dirinya sendiri. Bermuhasabah...hingga detik demi detik terlewat dengan indah penuh ketentraman. Aku ingin setiap hari seperti ini...

Hingga akhirnya tangan demi tangan saling menyapa diiringi senyuman ukhuwah meski kita tak pernah bertemu sebelumnya, oh...wajah-wajah itu, membuatku sangat rindu...

Duduk diatas tumpukan bata yang teratur dengan keramik, menikmati pemandangan sosok kakek yang dibantu untuk masuk ke dalam mobil, sepertinya Kyai, santrinya mengikuti dengan pakaian putih-putihnya. Bukan masalah siapa beliau, namun sikap ramah penuh kesederhanaan membuat nyaman siapapun yang memandanganya. Semua bergerak pelan, seolah ada cahaya terang hingga motor-motor mulai hilang dari parkiran.
*
Suasana tampak berbeda ketika kulangkahkan kaki menyeberang jalan. Suara bersahutan, banyak yang menjajakan dagangannya sendiri-sendiri, ya, mereka berjualan untuk memenuhi nafkah keluarganya. Semua berbaur, ada pakaian, alas kaki, makanan, mainan bahkan pemancingan kecil untuk anak-anak. Tawa bercampur menjadi satu. Ada kebersamaan, anak dengan orang tua, istri dengan suaminya, kakek dengan cucunya, semua bercampur menjadi satu, pun dengan mereka yang masih berstatus illegal, pacaran. Aih...anak itu masih kecil namun sudah berani berduaan dibawah pohon, ditempat umum pula. Ampuni aku atas pandangan yang mungkin tak seharusnya ya Rabb..


Aku berhenti sejenak menikmati enam tusuk sate cilok ditengah keramaian. Inikah dunia malam yang selama ini jarang kurasakan? Meski waktu baru menunjuk dijarum angka tujuh, rasanya seperti sudah malam. Aku kembali berkeliling, menikmati malam, berbincang dengan pedagang jagung bakar yang penuh kebersahajaan. Ah...hidup ini saling melengkapi... Aku tak sendiri ternyata... Masih banyak disana yang peduli, memberi arti, untuk hidup yang singkat ini... saatnya untuk kembali meniti mimpi dijalan Ilahi.

*Catatan Muhasabah
Alun-alun Malang, 5 April 2014
Vita Ayu Kusuma Dewi

Comments