Bismillahirrahmaanirrahiim
"Perjalanan ini akan bermuara pada suatu
titik, saat memutuskan untuk mendaki maka titik tertinggi adalah puncak. Ketika
memilih menyeberang lautan, sampailah kita pada suatu pulau, begitu juga diri
ini yang sejatinya sedang berjalan menuju suatu titik yang tiada keraguan lagi
didalamnya, titik akhir kehidupan"
Tepat beberapa minggu yang lalu (28 Februari-2 Maret
2014), saat penat melanda, ingin mengeyahkan diri dari zona biasa bersama
kawan-kawan yang telah lama tak bersua.
Cerita bermula saat seorang kawan memberitahukan
rencananya untuk datang ke Malang. Selang dua hari, kurang lebih jam 9 malam
mereka sampai di Malang. Mas Bayu, Mas Septian, Mas Andik dan wonder women,
Mbak Alfi. Lalu disusul dengan drama tersesat di bundaran pusat Kota Malang,
Kak Edhu dan Dek Evita. Istirahat sambil menikmati ayam bakar sembari menunggu
konfirmasi Mas Yona dan Mas Aji untuk direpotkan satu malam. Kami berpisah menjadi tiga zona, zona Mas Aji,
Mas Yona dan tempatku sendiri, esoknya kami berkumpul di Bromostore untuk
meniti langkah selanjutnya.
Pagi menyapa dengan indahnya, mereka telah
bersiap, personil yang semula hanya 6 orang kini bertambah menjadi 8 orang
karena Mas Yona, mantan pradana kami dahulu, merelakan kuliah lapangnya demi
sahabat-sahabatnya yang jauh ingin menikmati salah satu titik di Malang
selatan. Dimulai dengan memilih leader perjalanan, saat itu Mas Bayu menjadi
leader. Sebelum jauh menempuh jarak, soto ayam dekat
Pasar Besar menjadi pemadam kelaparan. Hingga perjalanan dimulai kembali menuju
Malang Selatan. Tujuan kami untuk dua hari ini adalah Segoro Anakan, salah satu
nikmat Allah yang akan membuat tersadar bahwa hidup ini tak hanya sendiri,
masih banyak orang-orang disekitar yang mengingatkan agar kita tersadar untuk
kembali kejalan-Nya.
Sesekali kami berhenti untuk saling menunggu,
juga keadaan-keadaan mendesak lainnya. Kurang lebih dua setengah jam
perjalanan, jalanan berliku memasuki daerah
Sumbermanjing Wetan tampak menantang. Berada dibelakang truk tangki yang
berjalanan lambat, membuat Mbak Alfi, yang memegang kendali setir motor
menyalip. Tampak dari kejauhan, biru menghampar namun tak kunjung sampai pada
pintu masuk Pantai Sendang Biru.
*
Sesampainya disana membayar akumulasi tarif masuk 4 motor dan 8 orang
sejumlah 60000 rupiah, kemudian mencari tempat parkir untuk menitipkan armada
kami. Mas Yona menawarkan dua opsi kepada kami, cari aman atau illegal. Kamipun
memilih jalur kanan, jalur resmi yang telah ditetapkan demi keamanan. Di Pos
Jaga Resort Konservasi Wilayah Cagar Alam
Pulau Sempu kami dijelaskan lokasi, rute, dan bahaya apa saja yang mengintai perjalanan
selama melewati Pulau Sempu menuju Danau Segoro Anakan. Diruang sempit itulah
pertama kali kami dipertemukan dengan teman baru dari Libya.
Untuk ijin memasuki Kawasan Pulau Sempu kami
menuliskan nama, kapan akan pulang dan membayar biaya 30000 rupiah. Jika
memakai guide (wajib) satu kali perjalanan 100000 rupiah. Persiapan selanjutnya
adalah membayar perahu untuk menyeberang, 100000 rupiah untuk round trip. Jika
ada yang belum memakai atau sangat membutuhkan sepatu, maka menyewa sepatu
seharga 10000 rupiah. Did you know? Sepatu mereka itu sama persis seperti
sepatu KKM alias sepatu proyek yang harganya tidak lebih dari 10000 rupiah. Melihat
sepatu-sepatu itu jadi teringat KKM, salah satu kenangan terindah di Teknik.
Tidak ada ombak berdebur keras, air mendekat begitu tenang. Pantulan matahari membirukan hamparan yang tersekat oleh perahu-perahu yang berjajar. Pemuda-pemuda itu, teman baru yang akan membagikan sejuta kisahnya di Negeri tercinta ini. Teluk Semut menunggu untuk disinggahi, rerimbunan vegetasi Sempu beserta paket segar lumpur siap dipijak, kawasan estuari Sempu telah melambaikan salamnya, dan diseberang sana, sebuah perbatasan Samudera Hindia telah menanti untuk berbagi arti....
***
*cerita ini bersambung
Malang, 5 April 2014
Vita Ayu Kusuma Dewi
Comments
Post a Comment
Komentar dimoderasi, yuk sambung silaturahim, saya akan langsung berkunjung balik ke sahabat semua ^^