Merindukanmu,
Kata dalam Realita…
Catatan
kecil tentang mereka yang selalu menjadi inspirasiku, Ayah, Ibu…
Aku
merindukanmu, merindukan sapamu yang merdu meski kita jarang bertemu.
Merindukan semangatmu yang kau bungkus dengan cinta untukku. Merindukan senyummu,
kehadiranmu dan segalanya tentangmu. Kuterbangkan rinduku bersama doa
kepada-Nya yang telah memberikan tempat terbaik untukmu, Ayah. Insya Allah……
Ketika kecil, aku jarang
bertemu karena Beliau masih melanjutkan belajarnya di Bandung. Meski begitu,
Ibu selalu menyempatkan membawaku dan adikku menuju Bandung dengan kereta api. Bergulirnya waktu seiring dengan aku dan
adikku yang tumbuh, mereka berdua menyematkan cinta dengan gayanya
masing-masing. Ibu, sosok yang tegar, lembut, penuh kasih sayang dan seorang
madrasah yang sangat bijaksana. Berbeda dengan Ayah, keras tapi penuh cinta
dalam tatap mata yang menyejukkan
Dulu Ayah sering sekali rapat
diluar Kota, meski harus menyusul dengan Bus, Ibu selalu membuat aku dan adik
merasa nyaman. Kami berdua belajar sejak kami belum sekolah formal, hampir
setiap naik Bus, jika ada pedagang buku, Ibu menawarkan kepada kami dan
menyuruh kami memilih mana yang disuka. Dengan rasa kasih sayangnya, diajarkan
isi-isi dalam buku itu perlahan.
Ayah, super sibuk sekali kala
itu. Pulang kerumah mungkin hanya beberapa kali dalam seminggu, sisanya
dihabiskan diluar Kota untuk rapat dan proyek. Ada satu hal yang membuatku
terkesima mengingatnya, ini tentang pesawat. Ya, sesederhana sebuah pesawat
terbang.
Jika Ayah rapat di Area Jawa
Timur atau Jawa Tengah, pasti kami diperbolehkan menyusul. Tapi tidak jika
rapat itu diadakan diluar Area itu, apalagi mengabulkan keinginan kami untuk
naik pesawat terbang, sampai sekarangpun mungkin belum pernah kalau hanya sekedar
ikut Ayah rapat, lalu sembari menunggu, kami berlibur. Alasannya sederhana “Belajar yang rajin, berdoa sama Allah,
nanti bisa naik pesawat sendiri dibiayai Negara”
“Lalu sampai kapan, Pak?”
tanyaku
“Sampai Allah mengijinkan, Nduk. Tak perlu bersama Bapak pasti kalian
bisa sendiri” kata Ayah.
“Ibu, pesawat” kataku sambil
memegang pesawat kertas
“ngeng..ngeng..ngeng…” kata Ibu sambil menerbangkan pesawatnya
“Nanti kalau besar naik pesawat
sendiri” timpal Nenek
*
Sayangnya sadarku terlambat. Aku baru menyadari tentang petuah Ayah, ada secuil motivasi yang tak kusadari. Ayah, seorang yang
mengajarkan tentang kemandirian, kesederhanaan dan bermimpi besar. Jika kulihat
banyak temanku yang sudah kemana-mana karena diajak orang tuanya, Ayah sangat
berbeda. Beliau selalu menekankan, “kamu
bisa suatu saat nanti, Nak, tidak seperti Bapak saat ini, tapi lebih dari apa
yang Bapak capai jika kamu selalu berusaha dan memohon kepada-Nya”. Jika
Ayah sudah berkata, Ibu juga akan menuruti. Meski aku sering merengek untuk
ikut Ayah.
Kuingat kembali, berapa kali
aku naik pesawat terbang sampai saat ini, dan rasanya terwakilkan oleh kata Alhamdulillah,
Allahu Akbar. Aku sadar apa yang ditanamkan Ayah ternyata menjadi kenyataan.
Sejak pertama kali naik pesawat terbang, 2011 silam, semuanya mendapatkan pendanaan dari Kampus, Alumni dan Pemerintah.
Ternyata aku melupakan ucapan Ayah yang lain. Kata Ayah, sebenarnya bukan Negara atau Pemerintah yang membiayai, tapi Rakyat. Kalau dari Kampus, walaupun mendapat beasiswa juga bukan dari Negara, melainkan dari Rakyat. “Kalau diberi kepercayaan, laksanakan
dengan baik. Jangan lupa, beasiswamu itu uang rakyat. Kalau sisa kembalikan.
Jangan lupa juga, setiap kamu kemana-mana menjadi perwakilan, bukan karena kamu
yang terbaik, tapi kamu dipercaya, jangan sia-siakan kepercayaan itu, meski
sisa seribu, kembalikan uang itu Mbak, jangan diambil, itu hak orang lain”.
Ayah… aku rindu dengan kata-katamu yang sering kuabaikan. Terkadang aku
menyesal, kenapa harus sekarang aku menyadarinya.
Miniatur pesawat Sriwijaya Air
itu sudah hilang ekornya karena pecah kujatuhkan karena aku kesal kepada Ayah,
padahal itu adalah motivasi untuk aku dan adikku. Ayah bahkan seperti figuran,
terkadang terabaikan padahal perannya begitu menjanjikan.
Disaat yang lain dicarikan
orang tuanya untuk magang, judul skripsi, atau keperluan lain yang berkaitan
dengan orang tuanya, aku iri. Terkadang aku berontak, kenapa Ayah dan Ibu tidak
seperti itu kepadaku, padahal mereka memiliki relasi yang begitu banyak.
Ternyata itulah cara mereka mendidikku untuk mandiri. Ah… semakin kurindu
caramu menyadarkanku, Ayah.
“Kenapa tidak naik pesawat
Jakarta-Malang, Mbak?” tanya Ayah
“Mahal Pak, dananya dari Kampus
tidak cukup, ini saja jatah naik kereta, tapi Alhamdulillah pas berangkat dapat
murah jadi bisa naik pesawat untuk pulangnya”
“Tapi kan bisa Bapak tambahi
uangnya, biar ga capek”
jawab Ayah
“Ga ah Pak, beda rasanya uangnya Bapak sama hasil perjuangan”
“Jangan sombong, kalau kamu berjuang nyari pendanaan buat berangkat, Bapak juga akan selalu berjuang mencukupi kebutuhan kamu...” pesannya
Ayah tidak ingat apa yang
diajarkannya karena tertutup rasa cintanya yang lebih. Aku rindu sebuah pesan
saat aku berada di Bandara, “Hati-hati
jaga diri, dijaga barang-baranganya, jangan sampai dimasuki barang haram oleh
orang yang tidak bertanggung jawab, Mbak. Pas di Pesawat, HPnya dimatikan……”.
Lalu jika aku keluar Kota, dimanapun itu, Ayah dan Ibu pasti lebih tahu meski
terkadang mereka belum pernah mengunjunginya.
“Pak, besok lusa aku ke
Bandung, ada kegiatan” kataku
“Udah ada buat uang saku,
Mbak?”
“Alhamdulillah dibiayai Kampus,
Pak”
“Nanti kalau ke Bandung setelah
turun di stasiun blablabla…..nanti jangan lupa mampir ke Puslitbangnya SDA,
nanti naik aja angkot blablabla…” kata Ayah
“Terus dulu Bapak sama Ibu bawa
pulang celana jeans buat dijual lagi di sini..sini..sini….” tambah Ibu.
Pada saat yang lain,
“Pak minggu depan ke Jakarta”
“Pak minggu depan ke Jakarta”
“Nanti kalau di Jakarta, kamu
jangan gini..gini..gini… Terus Bapak ada teman disini…kalau nanti sempat
sampaikan salam Bapak"
Dan seperti itulah seterusnya,
sehingga itu memotivasiku untuk terus mencari pengalaman untuk anak-anakku
kelak. Aku ingin seperti Ayah dan Ibu, bisa mengarahkan, memberi contoh dari
mereka sendiri, seperti tak perlu mencari orang lain untuk memperhatikanku.
Nadinya
terus berdetak dalam jiwaku, memberikan kisah terindah bersama mereka, meski
kurindu dalam tetesan air mataku, mereka tetap ada disini, dihati. Dan untukmu
Ayah, semangatmu akan tetap mengalir dalam setiap napasku, merindukanmu,
seorang laki-laki yang mencintaiku sebelum aku ada dihadapanmu.
***
Laboratorium Hidrolika Teknik Dasar, 20 Juni 2014
Vita Ayu Kusuma Dewi
wah, mbak vhe, aku terharu bacanya :"
ReplyDeleteiya mbak vhe ya, kita emang harus belajar mandiri, ini aku lagi on the way belajar mandiri, hahahaha :))
mbak diaaannnn dimana sekarang? Aku di lab hidrolika bawah recording? Di Kampus kan?
ReplyDeletesangat menginspirasi,..thanks ibu vita
ReplyDeletesemoga bermanfaat kak Aris ^^
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung