Langit
menangis dipagi buta, aku terbangun dengan kondisi yang sama seperti pagi-pagi
sebelumnya. Tidur dilantai dengan tangan masih menompang pada deretan
huruf-huruf di laptop dan juga kertas-kertas yang berserakan mengelilingi
setiap sudut tempatku berbaring. Tepat malam tadi, lebih puncaknya tengah malam
20 Desember 2012 kondisi yang sama setahun yang lalu ku alami. Asistensi tugas
besar, sebuah rutinitas tahunan yang menyisakan secuil senyum atau sebaliknya.
Satu
tahun yang lalu tepatnya 31 Desember 2011 aku bersama kawan-kawanku
menghabiskan malam tahun baru dengan tangis haru karena tugas besar kami yang
tiga bulan kami kerjakan akhirnya di “ACC”. Sebuah kata yang diidam-idamkan
oleh para penuntut ilmu dijurusanku ketika dihadapkan dengan deadline. Seolah
deadline menjadi sebuah tantangan besar ketika diakhir perjalanan. Sebuah
penguji yang mampu menguras air mata. Ada saja yang terjadi ketika bertepatan
deadline.
Aku
masih ingat ketika mahasiswa baru, ketika deadline tugas besar menggambar
kontruksi bangunan air fotokopi tempat menjilid hampir semuanya tutup. Hanya
ada satu yang buka itupun juga dijejali para kawan-kawan dari kelompok lain.
Rasanya ingin buka fotokopi sendiri. Hingga pada akhirnya beragam cara kami
lakukan agar kami tidak “GUGUR”. Gugur menjadi bayang-bayang ketakutan bagiku,
bagimana mungkin usaha satu semester sia-sia hanya karena gugur tugas besar.
Malam
itu kami sekelompok MKBA tergopoh kesana kemari menyebarkan tugas besar kami di
beberapa fotokopi agar cepat selesai. Asisten dosen kami juga sedikit menaikkan
kedisiplinannya, apalagi beliau usai proyek jadi emosi mungkin juga sedikit
naik. Kami memohon-mohon dibawah guyuran langit agar deadline diperpanjang jangan setelah magrib. Sebuah
ilmu lobying yang sengaja kami
terapkan dengan tetap beretika.
Ujung
dari perjuangan itu akhirnya diridhoi Allah dengan kemurahan hati asisten kami.
Usai jilid kami segera mengumpulkan jilidan gambar dikertas A1 dan
laporan. Kami membuat sebuah lingkaran dengan pusat adalah asisten yang
memeriksa satu persatu tugas kami dengan teliti.
Kami
tertunduk diam, aku sebagai koordinator masih memikirkan salah satu teman satu
kelompok yang putus ditengah jalan meski telah dibujuk rayu. Diakhir sesi kami
ditanya ingin nilai individu atau kelompok. Dengan lantang kami mengucap nilai
keompok karena kami tahu bagaimana rentang tiga bulan disela tugas kuliah yang
menggunung kami masih bias berkumpul asistensi tugas besar hingga larut malam.
Belum lagi kejadian-kejadian unik dikelompok, masalah-masalah kecil hingga
tangan yang selalu mengutamakan orang lain dikelompok kami. Keluarga kecil yang
membahagiakan.
Tepat
malam tahun baru, ketika Kakak asisten menuliskan nilai kami tidak berani
melihatnya. Akhirnya ketika semua nilai sudah mendarat mulus dengan spidol
tinta emas kami berkumpul kembali dan mendapati bahwa tertulis nilai 83. Rasa
syukur tak terkira atas manisnya hasil setelah usaha yang kian memuncak pula.
Tangisku pecah, kuarahkan satu kelompokku untuk melingkar. Aku meminta maaf
jika selama menjadi koordinator aku tidak bisa menjalankan setiap tugas dengan
baik.
Masih
ada asisten di Dekanat tersebut, dan dengan itu pula kami saling menyampaikan
terima kasih atas simbiosis yang saling mengutungkan dan meminta maaf jika
membuat asisten merasa kelompokku masih kurang maksismal. Sebuah kenangan indah
tentang deadline tugas besar.
Ini
tahun kedua dan kali ketiga berhadapan kembali dengan beragam tugas besar yang
kadang berusaha meminta perhatian lebih. Saat inilah salah satu moment yang tidak bisa kulupakan.
Ketika
injury time, 20 Desember 2012 aku
menunggu hingga malam untuk dimajukan kembali tugasku. Awalnya siang hari itu
aku sudah memeriksakan final pengerjaan
gambar tugas besar perencanaan jaringan irigasi, namun ternyata masih perlu
adanya revisi terkait kurangnya gambar arah aliran, dimensi atau sekedar
kesalahan menulis judul gambar.
Estimasi
waktu untuk revisi dibatasi hingga jam 10 malam. Belum lagi aktivitas asistensi
tugas besar lainnya yaitu transportasi sedimen dan kokoh tegangan yang juga
meminta deadline ACC siap jilid hari jum’at, 21 Desember 2012. Itupun masih
melupakan sedikit tentang dua tugas besar lainnya yang justru berasal dari
dosen. Ujian sebagai mahasiswa, begitulah kiranya. Sebuah esensi yang terselip
adalah bagaimana kita tetap bias melaksanakan aktivitas diluar pengerjaan
tersebut dan juga bagaimana respon kita terhadap teman-teman kita yang belum
selesai karena beberapa hal.
Setelah
merevisi kembali gambar yang telah kubuat hingga begadang hingga pagi setiap
malam, aku plot-kan kembali atau diprint-kan kembali dikertas ukuran
sedikit lebih besar A2 atau A3. Malam hampir berganti
pagi, jam 11 malam gambarku diperiksa kembali. Kuharap ini yang terakhir revisi
sebelum esoknya menghadap dosen. Bukan karena alay atau berlebihan namun kenyataannya ketika gambar tersebut
berada diujung tangan asisten dosen hati berdebar kencang, berdoa agar tidak
ada kesalahan.
Gambar
pertama masih aman terkendali begitupula
beberapa gambar selanjutnya ketika dipertengahan tiba-tiba ingin menangis
karena ada kesalahan dimensi yang terlalu kecil serta kurangnya tanda arah
aliran. Nyesek rasanya, meski belum jilid. Hal itu menandakan
bahwa harus plot ulang. Bukan karena
uang yang telah keluar namun perjuangan selama ini serasa belum puas ketika hasil
akhirnya masih diuji. Teringat kata kakakku dijurusan lain “bukan iman kalau tidak diuji”.
Jarum
jam sudah melewati angka dua belas. Tidak bisa pulang ke kos karena sudah
dikunci. Alhasil harus kembali tidur dikos teman yang ada didekat kampus
teknik. Sampai di kos bukan istirahat meski pagi telah menyapa, namun
memandangi gambar-gambar yang telah dinodai dengan bolpoin merah bertandakan
revisi. Air mata meleleh mengingat kembali setiap detik yang terkorbankan.
Hanya mungkin kita tidak menyadari ada banyak pelajaran dibalik semua ini.
Paginya,
aku dan kawan-kawan seperjuanganku telah menunggu didepan ruang dosen untuk
maju dosen terkait tugas besar yang telah kami kerjakan. Selasar laboratorium
hidrolika yang penuh dengan manusia. Saat-saat inilah yang akan menjadi
kenangan ketika aku telah meninggalkan kampus tercinta.
Meski
perasaan takut menghantui namun dengan adanya kawan-kawan semua itu bias
diminimalisir. Setidaknya kami masih bisa tertawa ditengah penantian.
Mengesankan ketika kami harus menerima kenyataan hasil kerja kami masih kurang
tepat dimata dosen. Hingga salah satu temanku menangis tersedu karena
dinyatakan gugur. Alhamdulillah berita itu salah karena seharusnya dia tidak
gugur. Benar-benar salah satu episode di kampus yang sangat mencengangkan dan
terkadang ingin mengulangnya.
Setiap
apa yang dikorbankan pasti ada hal yang sangat berkesan. Salah satunya kejaran
deadline yang tidak pernah henti. Namun mindset
dikejar deadline harus diubah dengan sebaliknya kita yang mengejar deadline.
Dengan begitu kita akan bekerja keras atas apa yang ingin kita capai hingga
terkadang mencapai weltingpoint atau
titik jenuh.
Semester
sudah meningkat, berbeda pula caraku menghadapi. Bukan seperti mahasiswa baru
kemarin yang masih cengeng atau tidak bisa menghargai sebuah perjuangan. Dewasa
ini, aku selalu mengaitkan setiap detik perjuangan dengan anugerah Allah yang
selalu tercurah kepadaku, dengan cara itulah aku bias bersyukur atas nikmat
yang telah Allah berikan.
*Kisah ini saya
dedikasikan untuk semua fisabilillah khususnya kawan-kawan Teknik Pengairan,
Fakultas Teknik UB
***
*Dimuat dalam Antologi “Unforgetable
Moments” halaman 79 oleh Vita Ayu Kusuma Dewi
Comments
Post a Comment
Komentar dimoderasi, yuk sambung silaturahim, saya akan langsung berkunjung balik ke sahabat semua ^^