Bismillahirrahmaanirrahiim
Nah, setelah saya sampai di Kajai, sekarang saya ingin menceritakan setelah ba''da dzuhur mbak Tiwi di make up. Kalau di Sumatera Barat, adat Minang pesta besar-besaran untuk pernikahan namanya "Baralek Gadang", jadi ingat lagu ya.hehe...Sebelumnya sudah diadakan pestanya di rumah mbak Tiwi dan sekarang di rumah Bang Pendra. Kalau di Jawa nyebutnya "Ngunduh Mantu". Ohya, sebutan mempelai puterinya "anak daro", pengantin puteranya "marapulai".
Saat saya datang saya menanyakan adik mbak Tiwi yang cowok kemana, ternyata kata mbak Tiwi kalau anak daro hanya diantar yang perempuan, jadi tidak diantar adiknya yang putera. Saya mengangguk-angguk, dan untuk pelaminan di tempat puteri juga tidak boleh dibubarkan sebelum seluruh rangkaian adatnya selesai.
Pelaminan adat Minang khas dengan corak dan warna merahnya yang membuat semakin elegan. Apalagi baju dan suntiang yang dipakai pengantin, masyaa Allah, love it lah, saya saja pengen make...loh..Kata referensi sebutannya pengantin puteri ke pengantin putera itu "manjalang mintuo".
Siang itu mbak Tiwi dan Bang Pendra banyak tamu, bahkan semakin sore, semakin malam semakin ramai. Kalau di Jawa kan resepsi 2 jam selesai, kalau ini bisa sampai dini hari. Di hari resepsi saja, di rumah mbak Tiwi selesai resepsi pukul 1 dini hari, dan saya tidak kebayang mbak Tiwi pakai suntiang selama itu. hoho...
Bang Pendra juga berpesan, intinya malanya lihat kesenian Ronggeng khas Minang ya. Saya pikir Ronggengnya tarian, tapi seperti kesenian yang dipadukan dengan organ tunggal. Setelah sholat magrib mbak Tiwi dan Bang Pendra berganti pakaian, gaun. Kali ini tanpa suntiang, jadi tidak berat.
Beberapa orang menyuruh saya memakai suntiang tapi saya tidak mau,hehe...ntarlah kalau nikah, kata saya. Suntiang ini berat guys tapi ada yang ringan karena sudah dimodifikasi. Dipakainya di kepala sebagai hiasan pengantin puteri, ditambah pakaian anak daro dan marapulainya sopan sekali. Adat minangkabaunya membuat ingin mencoba pakaian ini. Hasil searching, suntiang ini ada susunannya, paling bawah lapisan bunga Sarunai, lalu bunga Gadang, kambang goyang dan hiasanan kanan kirinya namanya kote-kote. Ibarat di Jawa ini seperti konde yang dihiasi dengan cunduk mentul dan kawan-kawan.
Ba'da isya tamu semakin ramai, dan saya menikmati pentol bakar ala Kajai sambil menonton organ tunggal. Saya langsung teringat diskusi dengan ibu, kalau nikah di gedung saja biar tidak repot, pinta saya. Tapi ibu tidak setuju, alasannya biar tetangganya ikut berbahagia. Benar saja, seperti di Kajai ini, akhirnya tetangganya turut bergotong royong dan terpancar kebahagiaan mereka. Kata saudara saya, kalau di gedung belum tentu tetangganya bisa datang.
Malamnya semua asyik menikmati suguhan Ronggeng Pasaman. Seni budaya ini berupa pantun, tari, musik dan joged. Alunan khasnya adalah Rabab. Sayangnya saya tak paham isinya apa karena bahasa Minang, bahkan kata dik Injur ada yang bahasa lama jadi hanya orang tua yang mengerti. Alhamdulillah kesenian-kesenian perekat masyarakat ini masih dilestarikan.
Ditengah acara, anak daro dan marapulai diminta naik ke panggung, dan merekalah lakon utama dalam Ronggeng tersebut. Setelah itu saya masih sempat bercerita nostalgia dengan mbak Tiwi. Dulu pernah punya harapan nikah tahun berapa dan mbak Tiwi juga bercerita prosesnya dengan Bang Pendra. Sama-sama Minang tapi dipertemukan di Malang. Allah memang so sweet rencananya, jodoh mah tak akan tertukar. Apa kabar kamu Mas, masih dalam perjalanan ke rumah saya yak? hehe...
Agenda pesta pernikahan tersebut selesai pukul setengah satu, tapi masih ramai tamu sih. Alhamdulillah sedikit belajar budaya pernikahan di Minang :)
Semoga yang belum menikah segera dipertemukan dan dipersatukan oleh Allah dengan imam terbaik menurut-Nya dan menjalani kehidupan rumah tangganya hingga ke Surga ^^
Puri Fikriyyah, 13 Juli 2017
Vita Ayu Kusuma Dewi
Comments
Post a Comment
Komentar dimoderasi, yuk sambung silaturahim, saya akan langsung berkunjung balik ke sahabat semua ^^