Mengeja Hikmah "Terpuruk"

Bismillahirrahmaanirrahiim
Semua bermula ketika Bapak kembali ke pangkuan-Nya. Rasanya semua berubah, yang awalnya baik-baik saja menjadi "ada apa-apa", lalu sayapun bukan tipe orang yang mengutarakan jadilah semua terpendam, dinikmati sendiri dan dirasakan sakitnya sendiri. Salah satu momen yang saya anggap "terpuruk" adalah kehilangan kepercayaan dan datangnya hinaan serta cacian kala itu. 

Singkat cerita, saat kuliah di Malang, saya memiliki teman yang sudah saya anggap sahabat. Satu tahun berteman ternyata dia menghilang bersama tanggung jawab peminjaman yang belum diselesaikan. Singkat cerita, bersamaan dengan itu fitnah datang melalui kabar-kabar yang berhembus di lingkungan tentang saya, komentar negatif di blog saya dengan kata-kata a**ing, t**k dan sepantarannya, serta sms teror yang intinya saya jadi penyebab abcd, intinya mah ke arah mengatakan saya munafik. Sedih, sedih banget kala itu, rasanya mau cerita ke sahabat juga tak tega, apalagi orang tua, tak akan pernah saya ceritakan apa yang membuat saya "merasa sakit". Biarlah saya tanggung sendiri kesakitan yang mungkin saya sendiri penyebabnya. 

Dalam masa itu diperkeruh dengan ingatan saya saat SMA, selepas saya berniat hijrah, ketika itu saya di maki di tengah lapangan oleh seseorang. Ah...jadilah ingatan itu memperburuk suasana. Mana saat itu sedang semester hectic. Kondisi ini akhirnya berpengaruh pada sahabat saya yang lain.

Saya butuh waktu agak lama untuk menenangkan diri, saya menjalani hari seperti biasa dengan masih membawa sampah emosi. Lalu, perlahan saya tersadarkan apa ada yang salah dengan saya akhir-akhir itu, atau saya sombong, dan berbagai muhasabah lain tentang diri. Sayapun memilih tak berkomunikasi dengan orang-orang yang saya anggap justru akan membuat suasana semakin memanas. Jadilah, saat itu hampir sayapun tak bisa mempercayai siapapun, termasuk sahabat sendiri.

Kala itu saya bisa kembali ceria dan memaafkan dengan hanya percaya kepada-Nya, tak lagi mengharap iba dari manusia. Lalu, sembari mengobati luka teror, hinaan, cacian itu dengan memperbaiki sikap yang menurut saya kurang tepat. Pun saat itu Allah hadirkan sahabat-sahabat dalam satu lingkaran majelis ilmu-Nya yang senantiasa memegang erat. Allah bantu saya menutup apa-apa yang membuat saya kembali merasa terpuruk. Saya berusaha keras mengembalikan kepercayaan diri yang terasa terenggut oleh caci maki dan kabar yang beredar tentang saya. Semua terasa sulit karena tak ada yang bisa dijadikan tempat cerita, dan memang sayanya malas lagi untuk bercerita, mungkin yang akan sahabat saya bilang adalah "sabar", ketika itu. 

Namun, dari usaha bangkit "sendiri" dan kepercayaan kepada manusia yang hilang itulah sayapun tersadar akan sesuatu yang besar dan tak ternilai harganya daripada manusia. Kekuatan dari-Nya, iya, Dia adalah satu-satunya tak pernah meninggalkan, menerima segala keluh kesah saya kapanpun saya mau, tak membuat saya kecewa, selalu membuat saya bahagia kala mengingat apa-apa yang telah dianugerahkan-Nya. Ialah Allah, yang akhirnya saya tersadar penuh kala itu bahwa Allah-lah tang tak pernah meninggalkan hamba-Nya dalam segala gelisah susah yang di rasa. 

Lalu dalam sebuah firman-Nya saya dapati bahwa Ia tak akan membebani hamba-Nya diluar kesanggupan hamba-Nya. Ia, benar memang. Untuk menguatkan bangkit saya kala itu, saya lebih banyak berinteraksi dengan petugas kampus, lebih banyak "nongrong" di penjual sekitar kampus hanya untuk mendengarkan kisah-kisah mereka. Ada yang bercerita tentang dagangannya, ada yang bercerita tentang anaknya, bagaimana kondisi ekonomi dan ragam cerita lainnya. Satu hal yang saya dapat tarik kesimpulan mengapa mereka tetap ceria meski ada banyak "tanggunggan rasa", sebab mereka bersyukur terhadap apa-apa yang menimpa dirinya.

"Seorang muslim itu apabila diberikan nikmat ia bersyukur, apabila ditimpa kesusahan ia bersabar" begitulah penggalan salah satu kajian yang saya dapat dari proses bangkit. Satu persatu obat yang Allah berikan itu menjadi amunisi yang kuat saat saya menghadapi hal serupa dikemudian hari. Sejujurnya, saat itu saya belum sepenuhnya memaafkan kejadian itu, dan selang 4 tahunan dari kejadian itu saya baru benar-benar merasa plong atau menerima kejadian tersebut. 


Bercerita seperti ini misalnya, ini adalah bentuk saya telah menerima apa-apa yang menjadikan saya sakit saat itu. Sebelumnya saya masih memendam erat, saya jadikan tumpukan sampah emosi yang entah pada saat kapan akan meledak. Alhamdulillahnya, Allah pertemukan saya dengan forum yang berusaha sama-sama membersihkan sampah masa lalu. 

Saya bersyukur sekali dapat mengambil bulir-bulir pesan dari-Nya lewat kejadian itu. Hadiah terindah dari-Nya saat saya benar-benar bisa menyadari bahwa tiada lain saya bergantung dan berharap selain kepada-Nya. Berharap pada manusia suatu saat pasti berpotensi kecewa, tapi tidak jika kita hanya berharap kepada-Nya.

Saat saya tilik lagi, harusnya sejak kejadian itu saya bisa memaafkan dan menerima, bukan memandamnya hingga bertahun-tahun. Apabila saya kembali ke masa itu, ingin saya memulai yang meminta maaf terlebih dahulu, meminta klarifikasi mengapa sahabat saya pergi, mengapa teror itu terjadi, sehingga tak ada pikiran negatif tentang sahabat saya tersebut, pun tak ada beban yang saya pendam bertahun-tahun. Namun mungkin karena ego saya saat itu juga dan kesal terhadap apa yang ada, maka saya khilaf dan luput untuk meminta maaf terlebih dahulu.

Alhamdulillahnya, sekarang bisa melepas luka itu, kembali pada jalan-Nya yang penuh cerita. Mungkin tanpa kejadian itu, sayapun tak tersadar untuk terus menjadikannya gantungan harapan. Mungkin tanpa kejadian itu saya tak akan bisa lebih selektif bersahabat, dan mungkin tanpa kejadian itu saya tak akan "sekuat" yang sekarang (atas ijin-Nya).

Bagi sahabat semua yang mengalami hal yang sama, yang merasa dirinya terpuruk, yuk mari kita terima hal terpuruk itu, maafkan diri sendiri, dan syukuri apa yang terjadi, maka dengan itu hari-hari kita tak akan dibelenggu sampah negatif dalam diri. Susah memang dan berat dirasa, tapi bersama-Nya, kau akan ringan melangkah, dengan ijin-Nya in syaa Allah kita bisa menanggalkan keterpurukan itu. Ingat lagu Djenggot kan yang "tak ada ujian yang tak bisa di lalui karena Tuhan telah mengukur diri ini, lebih baik hadapi segala beban diri, hadapi dengan ikhlas di hati" ^^.

Tak ada keterpurukan yang tak bisa kita ambil pelajaran.. Semangat selalu hanya karena-Nya, serta gantungkan segala harap hanya kepada-Nya :)

*Kisah ini adalah salah satu tugas bahagia dari proses belajar saya di Sekolah Bidadari Surga :)
***
Puri Fikriyyah, 18 Agustus 2017
Vita Ayu Kusuma Dewi

Comments

  1. Memaafkan dan menerima, hati dan pikiran menjadi lega. Tidak ada lagi rasa dendam masa lalu.
    Maaf nih, templatenya belum dirapikan ya ? sementara pakai template bawaan blospot versi terbaru saja, lebih enak dan responsive.

    ReplyDelete
  2. Iya kak belum sempat ganti.. In syaa Allah minggu ini bakal di beresin.biar rapi :) makasih sarannya ka

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dimoderasi, yuk sambung silaturahim, saya akan langsung berkunjung balik ke sahabat semua ^^