Belajar Melepas : Alat Memanahku Sayang

Bismillahirrahmaanirrahiim
Lama sekali tak bersua dengan rumah maya ini. Saya rasa ini rumah yang bisa menyimpan berbagi rasa. Seperti beberapa waktu yang lalu, saya ke lokasi pengungsian bencana longsor di Sukaraja dan diberi amanah untuk memimpin writing for healing.  Ya kira-kira kalau ditanya kenapa dengan menulis, kutipan artikel dari Psychology Today ini bisa menjadi perwakilannya.

Across many experiments, people experience a positive effect from employing expressive writing to cope with difficult life experiences. Even though a traumatic or grievous experience comes crashing into one’s life unbidden, through writing, one can shape and explore the difficulty. Writing takes time. Taking time to write of one’s own life experience provides a way to respect, hone and understand the trauma or loss. We dignify our lives by taking seriously, in writing, the unwanted experience. We can make meaning of tragedy. Simply writing emotively, without telling a story, is not effective. Creating a narrative helps one write with authority in the face of unwanted change (Psychology Today)

Lalu apa kaitannya dengan belajar melepas? Sebenarnya saya hanya ingin mengeluarkan perasaan saja setelah saya memutuskan menjual beberapa alat penunjang untuk hobi memanah saya. Bagi yang tau perjalanan memanah saya, pasti mereka juga merasakan betapa berat membuat keputusan ini. Namun, setelah berpikir, menimbang dengan segala pertimbangan, semoga ini keputusan terbaik. Iya, ada prioritas dan fokus lain yang harus dikejar saat ini. 
Mengingat saat memulai menekuni olahraga memanah, saya belum memiliki alat panah. Saat itu coach Ferry dan Rimaya menerima saya untuk pertama kali belajar memanah. Terima kasih sekali coach Ferry, banyak sekali kebaikan beliau, didanai sampai ikut pelatihan pelatih, didanai saat mengajar, dilatih tanpa henti dan sebagainya T.T Coach profesional saya yang pertama dan pernah membawa saya untuk menaiki podium nomor 1. Jadi, coach Ferry mempercayai saya untuk mewakili Rimaya dalam Training of Trainer panahan sebelum akhirnya beliau mendanai lagi untuk sertifikasi pelatih T.T Setelah TOT tersebut saya ingin serius, akhirnya sayapun memutuskan membeli alat panah sendiri, busur panah, tas, alat pengaman serta anak panah. Itu satu set pertama yang saya beli dengan uang jajan yang dikumpulkan, kira-kira habis 2,8juta. Lalu, sayapun semakin tertarik. Jika punya uang saya belikan aksesorisnya, mulai dari fisir yang biasa hingga punya yang long sight cartel focus yang saat itu harganya 500ribu, kemudian sayapun menyicil stabilizer SF Axiom+ yang saat itu dipatok 1,4juta-1,5juta. Pelan-pelan saya kumpulkan hingga sampailah di titik fullset. Huhu...pengen nangis rasanya, ternyata Allah ijinkan dengan pelan-pelan. Lalu mulai membeli bantalan sendiri dan cagrakan yang bisa habis 500ribuan dan perawatannya perbulan :"( Sesayang itu sama Arjuna, maka saya ingin memberinya aksesoris terbaik, bukan yang kalengan. 

Hari ini, saya memutuskan melepas stabilizer dan fisir saya, dengan pertimbangan saya sekarang fokus ke barebow  :") Namun ternyata melepas tak semudah itu, saat akan merelakan berpindah tangan, ternyata saya teringat bagaimana dulu memperjuangkan :") Lalu bagaimana? Akhirnya saya mengingat kata-kata Radhitya Dika, kalo lo kangen dengan barang tersebut, ya lihat saja fotonya :") Huhu baik Bang...

Semoga dengan menulis ini, saya semakin yakin dengan keputusan yang telah diambil dan tidak menyesal di kemudian hari. Dear Arjuna, aku akan memberimu yang terbaik lagi, tunggu ya, aku masih berusaha, doakan ya Arjuna sayang :")
***
Suatu sudut di Bogor, 4 Maret 2020
Vita Ayu Kusuma Dewi

Comments